Tools:
Powered by AdinJava

Suplemen 'Ajaib' di Media Sosial: Influencer Jadi Dokter Dadakan

Table of Contents
Featured Image

Dampak Influencer Kesehatan di Media Sosial

Di beranda ponsel kita, banyak influencer menawarkan produk yang terlihat menarik seperti kapsul penurun berat badan yang “aman karena herbal”, gummy peningkat imun dengan riset terbaru, atau serbuk kolagen yang diklaim membuat kulit glowing dalam 7 hari. Konten mereka disusun dengan baik dan menarik, bahkan transaksi bisa dilakukan hanya dengan klik. Namun, apakah semua yang kita konsumsi benar-benar aman, bermanfaat, dan teruji, atau hanya sekadar cerita manis yang dibungkus dengan pemasaran kreatif?

Fenomena ini bukan hanya sekadar gangguan kecil di media sosial, tetapi memengaruhi keputusan kesehatan jutaan orang, terutama remaja dan dewasa muda yang mengandalkan media sosial sebagai referensi utama. WHO menyebut banjir informasi keliru ini sebagai infodemic, yaitu misinformasi dan disinformasi yang membingungkan publik dan merusak kepercayaan pada sains.

Pasar Besar, Risiko Sama Besarnya

Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk kesehatan tambahan. Survei regional tahun 2025 menunjukkan bahwa sekitar 88% konsumen Indonesia rutin mengonsumsi suplemen. Angka ini menunjukkan potensi ekonomi besar sekaligus kerentanan terhadap klaim berlebihan. Ketika permintaan tinggi bertemu promosi agresif, celah penyalahgunaan semakin lebar: dari dosis tak wajar, klaim penyembuhan tanpa uji klinis, hingga peredaran produk ilegal.

Laporan BPOM pada 2024 dan 2025 menemukan bahwa banyak obat tradisional dan suplemen mengandung BKO (Bahan Kimia Obat) berbahaya serta produk yang dipasarkan dengan klaim kesehatan tanpa izin edar. Ini menunjukkan bahwa ancaman nyata tidak hanya berasal dari produk ilegal, tetapi juga dari iklan dan promosi yang menyesatkan.

Ketika Algoritma Mengalahkan Regulasi

Algoritma media sosial memberikan panggung bagi kreator konten yang paling memikat emosi. Kreator konten sering kali tidak memahami batas klaim, sementara format video pendek lebih mendorong janji manis daripada penjelasan risiko efek sampingnya. Pemerintah pada 2023 pernah mengambil langkah dengan memisahkan fungsi media sosial dari e-commerce untuk menertibkan arus belanja instan dan memperketat pengawasan produk. Meski begitu, promosi suplemen "ajaib" tetap melesat melalui iklan kreatif, live streaming, dan testimoni viral yang sulit dibendung.

Pola Berulang di Balik Janji Herbal

Setiap tahun, pola yang sama muncul: produk dipromosikan melalui testimonial pribadi, diklaim "alami" atau "import premium", dan disertai janji perubahan cepat. Setelah ramai dibeli, baru terungkap label tidak sesuai, izin edar bermasalah, atau klaim yang menyesatkan. Contohnya adalah kasus pada Maret 2025, BPOM menindak sebuah merek suplemen populer yang melakukan relabelling dan iklan tak sesuai ketentuan. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa pelanggaran bisa lahir dari strategi promosi yang tampak wajar di linimasa publik.

Influencer: Teman Relatable atau Konsultan Kesehatan Palsu?

Banyak influencer memposisikan diri sebagai "teman" yang berbagi pengalaman. Mereka menciptakan rasa kedekatan dan komunitas yang jarang ditemukan di brosur resmi atau jurnal ilmiah. Ketika kepercayaan publik berpindah ke figur yang relatable, keputusan kesehatan pun ikut bergeser. Tidak semua influencer bersalah; ada dokter, ahli gizi, dan peneliti yang menggunakan media sosial untuk edukasi berbasis bukti. Namun masalah muncul ketika konflik kepentingan, endorse, klaim tak terverifikasi, dan minim transparansi berubah menjadi iklan terselubung. Di mata publik, garis antara "cerita pribadi" dan "saran medis" menjadi kabur.

Cara Publik Menyaring Janji Manis

Sebelum membeli, publik perlu melatih skeptisisme sehat. Produk yang aman selalu memiliki nomor izin edar BPOM yang bisa diverifikasi di laman resmi BPOM atau aplikasi Cek BPOM. Komposisi dan peringatan wajib dibaca dengan teliti, jangan tergiur klaim "100% alami" jika tidak jelas dosis dan efek sampingnya. Waspadai produk yang hanya mengandalkan testimonial selebritis atau influencer tanpa bukti uji klinis.

Yang Bisa Dilakukan Negara, Platform, dan Tenaga Kesehatan

Regulasi tidak boleh berhenti pada produsen saja. Akun promosi yang menyebarkan klaim menyesatkan harus dibekukan, dan platform wajib menurunkan konten bermasalah dalam hitungan jam, bukan minggu. Koordinasi lintas Kemenkes, Kominfo, Kemendag, BPOM serta komitmen platform menjadi kunci keberhasilan pengawasan digital. Tenaga kesehatan perlu hadir di ruang yang sama, membuat konten edukasi dengan bahasa visual, cerita, dan format yang memikat algoritma tanpa mengorbankan akurasi. Perguruan tinggi, organisasi profesi, dan puskesmas bisa melahirkan "influencer berbasis sains" yang mampu menyeimbangkan narasi publik dan merebut atensi warganet.

Saatnya Bijak di Tengah Banjir Klaim

Kesehatan bukan hanya konten hiburan. Suplemen hanyalah pelengkap gizi, bukan pengganti pola makan seimbang dan gaya hidup sehat. Jika influencer ingin berbagi pengalaman pribadi, silakan. Tetapi begitu mereka berbicara seolah dokter, publik berhak menuntut bukti ilmiah dan jaminan keamanan. Negara telah membangun pagar melalui pengawasan produk berbahaya dan pembenahan social commerce. Namun pagar itu hanya bermanfaat jika masyarakat memilih berjalan di sisi yang aman dengan literasi yang baik, kebiasaan verifikasi, dan keberanian menolak janji manis tanpa bukti.

Suplemen bisa menjadi teman bagi kesehatan, tetapi tidak untuk menjadi obat segala penyakit. Publik perlu menuntut kejujuran, data ilmiah, dan perlindungan agar tidak lagi tertipu oleh label "alami" dan "ajaib" yang sering kali hanyalah ilusi pemasaran.

Posting Komentar