Sentra Kuliner Kramat: Antara Tradisi dan Tata Ruang Kota

Pemandangan yang Paradox di Jalan Kramat Raya
Pada hari Kamis, 2 Oktober 2025, kawasan Jalan Kramat Raya di Senen, Jakarta Pusat menampilkan pemandangan yang sangat paradoks. Di satu sisi, deretan kios Nasi Kapau yang legendaris sejak pertengahan 1970-an ramai dikunjungi pembeli, terutama saat bulan Ramadan. Belasan penjual berjejer dengan tulisan besar Sentra Kuliner Kramat yang dihiasi ijuk melengkung khas atap Rumah Gadang. Menu-menu seperti gulai tambusu, ayam pop, rendang, sop iga, lamang tapai, hingga bubur kampiun tersedia lengkap.
Para pedagang menjual mulai pukul 09.00 pagi hingga 12.00 malam, bahkan beberapa warung buka 24 jam. Namun di sisi lain, kondisi ruang kota di kawasan tersebut sangat memprihatinkan. Tukang parkir memanggil-manggil pelanggan untuk memarkir motor di atas trotoar. Mobil diparkir di pinggir jalan yang sempit, hanya muat untuk dua mobil. Lalu lintas terlihat padat, terutama pada sore hari. Para pengamen datang silih berganti. Yang lebih ironis lagi, tepat di belakang sentra kuliner terdapat Yayasan Rumah Piatu yang gedungnya tertutup oleh kios-kios pedagang.
Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, kini berubah menjadi area parkir dan berjualan. Beberapa kali saya terpaksa turun dari trotoar dan berjalan di samping jalan raya karena sempit. Setelah sempat ada ketidakpastian, Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi, akhirnya mengizinkan pedagang nasi Kapau untuk berdagang di trotoar Jalan Kramat. Setiap pedagang mendapat jatah 2,5 x 5 meter, sementara sisanya untuk pejalan kaki yang melintas.
Sentra kuliner yang diresmikan pada akhir Mei 2017 oleh Djarot Saiful Hidayat, saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, kini berada dalam situasi yang mencerminkan dilema klasik Jakarta: bagaimana mengakomodasi warisan budaya kuliner sambil menjaga fungsi ruang publik?
Konflik antara kepentingan ekonomi dan fungsi ruang publik
Sentra Kuliner Kramat menghadirkan konflik mendasar antara kepentingan ekonomi pedagang dengan fungsi ruang publik yang seharusnya melayani kepentingan umum. Trotoar yang seharusnya menjadi jalur pejalan kaki, kini dipenuhi kios pedagang dan area parkir motor. Jalan yang sudah sempit semakin sesak karena mobil parkir di pinggir jalan. Akibatnya, kemacetan menjadi pemandangan rutin, terutama saat jam sibuk. Pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan karena trotoar tidak dapat digunakan sesuai fungsinya.
Urgensi masalah ini terletak pada hilangnya keadilan ruang kota. Ketika ruang publik yang seharusnya milik semua warga dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi segelintir pedagang, terjadi privatisasi tidak langsung atas ruang publik. Warga yang tidak berkepentingan dengan sentra kuliner, termasuk penghuni Yayasan Rumah Piatu di belakang kios, menjadi korban dari ketidakteraturan ini. Akses mereka terhadap ruang publik yang aman dan nyaman terabaikan demi akomodasi aktivitas komersial.
Masalah struktural lainnya adalah tidak adanya perencanaan terpadu dalam pengelolaan sentra kuliner. Meskipun diresmikan secara resmi pada 2017, infrastruktur pendukung yang memadai tidak pernah dibangun. Tidak ada area parkir khusus yang mencukupi, sehingga kendaraan terpaksa parkir di trotoar dan pinggir jalan. Tidak ada sistem pengelolaan sampah yang baik, sehingga kebersihan kawasan menjadi masalah. Tidak ada regulasi yang mengatur jam operasional dan tata letak kios agar tidak mengganggu lalu lintas dan akses ke bangunan lain. Peresmian yang seharusnya diikuti dengan penataan komprehensif, justru hanya menjadi legitimasi atas kekacauan yang sudah ada.
Sentra kuliner perlu dikelola sebagai aset budaya dengan tata kelola modern
Hemat saya, Sentra Kuliner Kramat harus dipandang dan dikelola sebagai aset budaya Jakarta yang memiliki nilai historis dan ekonomi tinggi, namun pengelolaannya harus mengikuti prinsip tata kelola ruang kota yang modern dan berkelanjutan. Sentra nasi Kapau yang telah ada sejak pertengahan 1970-an adalah bagian dari warisan kuliner Jakarta yang patut dilestarikan, tetapi pelestarian tidak boleh mengorbankan fungsi dasar ruang publik dan kenyamanan warga.
Argumen pertama berkaitan dengan nilai historis dan ekonomi sentra kuliner. Sentra Kuliner Kramat adalah salah satu pusat kuliner nasi Kapau yang legendaris di Jakarta. Makanan khas Minang ini, dengan keunikan gulai tambusu, gulai nangka, dan sayuran khas yang berbeda dari nasi Padang, telah menjadi bagian dari lanskap kuliner Jakarta selama hampir lima dekade. Harga terjangkau antara 20-30 ribu rupiah per porsi dengan kualitas yang terjaga membuat sentra ini menjadi pilihan kuliner dari berbagai kalangan ekonomi.
Secara ekonomi, belasan pedagang ini menghidupi puluhan keluarga dan menciptakan ekosistem ekonomi mikro yang melibatkan pemasok bahan baku, tukang parkir, hingga pengamen. Menutup atau memindahkan sentra ini tanpa solusi yang matang akan mencabut mata pencaharian dan menghilangkan warisan kuliner.
Argumen kedua menyangkut hak atas ruang publik yang layak. Trotoar adalah infrastruktur publik yang dibiayai oleh pajak warga untuk kepentingan umum, khususnya pejalan kaki. Ketika trotoar dialihfungsikan menjadi kios dan area parkir, terjadi pelanggaran terhadap hak dasar warga untuk mendapatkan akses yang aman dan nyaman. Pejalan kaki yang terpaksa berjalan di badan jalan menghadapi risiko kecelakaan. Kemacetan yang terjadi merugikan ribuan pengguna jalan lain yang melintas di kawasan tersebut. Gedung Yayasan Rumah Piatu yang tertutup oleh kios menunjukkan betapa tidak teraturnya penataan kawasan ini. Akomodasi terhadap kepentingan ekonomi pedagang tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas.
Argumen ketiga berkaitan dengan standar tata kelola sentra kuliner modern. Kota-kota besar dunia yang berhasil mengelola sentra kuliner tradisional, seperti pasar malam di Taiwan, pasar kaki lima Singapura yang ditata ulang, atau sentra kuliner Bangkok, menunjukkan pelestarian tradisi kuliner dapat berjalan beriringan dengan tata ruang yang teratur. Sentra kuliner yang baik memiliki infrastruktur pendukung: area parkir yang memadai, sistem sirkulasi pengunjung yang jelas, pengelolaan sampah yang baik, toilet umum, dan yang terpenting, tidak mengorbankan fungsi ruang publik.
Tiga pilar penataan sentra kuliner Kramat yang berkelanjutan
Pertama, bangun infrastruktur terpadu untuk Sentra Kuliner Kramat. Pemerintah Kota Jakarta Pusat harus segera membangun gedung sentra kuliner permanen dengan desain modern namun mempertahankan estetika Rumah Gadang. Gedung ini dapat berupa bangunan dua lantai: lantai bawah untuk kios-kios pedagang dengan standar kebersihan dan kenyamanan yang baik, lantai atas untuk area makan bersama dengan pemandangan kota. Infrastruktur pendukung yang wajib ada: gedung parkir bertingkat atau basement untuk menampung kendaraan pengunjung, sistem pengelolaan sampah dengan tempat pembuangan yang tertutup dan dikelola secara profesional, serta toilet umum yang bersih dan memadai. Dengan infrastruktur permanen, trotoar dapat dikembalikan kepada fungsi aslinya untuk pejalan kaki, jalan tidak lagi macet karena parkir liar, dan Yayasan Rumah Piatu dapat kembali terlihat dan diakses dengan baik.
Kedua, terapkan sistem pengelolaan profesional dengan partisipasi pedagang. Bentuk Badan Pengelola Sentra Kuliner Kramat yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pedagang, dan masyarakat setempat. Badan ini bertanggung jawab untuk mengatur jam operasional yang tidak mengganggu lalu lintas, menetapkan standar kebersihan dan keamanan pangan, mengelola sistem parkir dengan tarif yang wajar, dan mengkoordinasikan kegiatan promosi kuliner. Pedagang harus diorganisir dalam bentuk koperasi atau paguyuban yang memiliki struktur kepengurusan jelas, sehingga ada perwakilan resmi yang dapat berkomunikasi dengan pemerintah. Setiap pedagang wajib memiliki izin usaha dan mengikuti pelatihan keamanan pangan serta pelayanan pelanggan. Sistem bagi hasil atau retribusi yang adil dapat diterapkan untuk pembiayaan operasional dan perawatan fasilitas. Dengan pengelolaan profesional, sentra kuliner tidak hanya tertib tetapi juga dapat menjadi model bagi sentra kuliner tradisional lainnya di Jakarta.
Ketiga, integrasikan Sentra Kuliner Kramat dalam peta wisata kuliner Jakarta. Pemerintah DKI harus mempromosikan Sentra Kuliner Kramat sebagai destinasi wisata kuliner resmi dengan branding kuat. Buat papan informasi digital di halte terdekat seperti Pal Putih yang memberikan informasi tentang sentra kuliner, menu yang tersedia, dan cara menuju ke lokasi. Integrasikan sentra kuliner dalam aplikasi wisata Jakarta dengan foto menu, kisaran harga, dan ulasan pengunjung. Adakan festival kuliner Minang berkala di lokasi tersebut dengan menghadirkan pertunjukan seni Minang, pameran produk khas Sumatera Barat, dan kompetisi memasak. Kolaborasi dengan komunitas pecinta kuliner dan pembuat konten untuk mempromosikan sentra kuliner di media sosial. Fasilitasi akses transportasi umum dengan memastikan jadwal Transjakarta dan KRL yang memadai, serta petunjuk arah yang jelas dari stasiun dan halte terdekat. Dengan promosi yang baik dan aksesibilitas yang mudah, Sentra Kuliner Kramat dapat menarik lebih banyak pengunjung, meningkatkan pendapatan pedagang, dan memperkuat identitas Jakarta sebagai kota kuliner yang beragam.
Penutup
Sentra Kuliner Kramat adalah bukti hidup, bahwa tradisi kuliner dapat bertahan di tengah perubahan kota yang cepat. Nasi Kapau yang telah melayani warga Jakarta sejak pertengahan 1970-an adalah aset budaya yang berharga. Namun, pelestarian tradisi tidak boleh dilakukan dengan cara yang mengorbankan keteraturan ruang kota dan hak warga atas ruang publik yang layak. Tiga solusi yang ditawarkan: pembangunan infrastruktur terpadu, pengelolaan profesional berbasis partisipasi, dan integrasi dalam peta wisata kuliner, adalah langkah konkret untuk memastikan Sentra Kuliner Kramat dapat terus hidup dan berkembang dalam kerangka kota modern yang teratur dan berkelanjutan. Saatnya untuk Jakarta membuktikan, bahwa warisan kuliner dan tata ruang kota yang baik dapat berjalan beriringan.
Posting Komentar