Tools:
Powered by AdinJava

Rusia Ketinggalan di Tengah Ledakan AI, Teknologi Dibungkam Rezim Putin

Table of Contents
Featured Image

Rusia Tertinggal dalam Persaingan Kecerdasan Buatan Global

Di tengah persaingan global yang semakin ketat dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI), banyak negara besar mulai dari Amerika Serikat hingga Tiongkok memperkuat posisi mereka. Sementara itu, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi juga mengalokasikan dana besar untuk membangun pusat-pusat AI. Namun, Rusia justru terlihat tidak hadir dalam peta persaingan ini.

Negara yang pernah dikenal memiliki tradisi kuat dalam bidang teknologi kini kesulitan mempertahankan posisinya. Hal ini disebabkan oleh berbagai tekanan politik yang datang dari Kremlin. Berbagai negara lain, seperti Korea Selatan dan Kazakhstan, telah meluncurkan strategi nasional dalam pengembangan AI. Rusia sendiri sebenarnya memiliki ekosistem teknologi yang sudah mapan sejak era internet, dengan perusahaan seperti Yandex dan VKontakte, serta aplikasi pesan Telegram yang didirikan oleh Pavel Durov.

Presiden Vladimir Putin pernah menyatakan bahwa "siapa yang memimpin dalam AI akan menguasai dunia." Namun, tiga tahun setelah ledakan AI global, kehadiran Rusia justru nyaris tak terlihat. Meski begitu, teknologi ini tetap memiliki peran penting bagi Moskow. Perang drone di Ukraina menunjukkan bahwa sistem otonom semakin berpengaruh dalam menentukan arah pertempuran.

Rusia bahkan diketahui menyelundupkan ribuan chip, termasuk prosesor GPU kelas atas, untuk memperkuat armada drone berbasis AI. Namun, pada kenyataannya, posisi Rusia dalam lanskap global masih sebatas pemain pinggiran.

Pusat Data Raksasa di Finlandia

Ironisnya, di Finlandia terdapat pusat data raksasa yang awalnya dimiliki oleh Yandex. Kini, fasilitas tersebut dikelola oleh Nebius, sebuah perusahaan yang berhasil menandatangani kontrak senilai 17,4 miliar dolar AS dengan Microsoft. Kontrak ini membuka peluang bagi Nebius menjadi pesaing utama perusahaan komputasi awan global.

Kondisi ini bermula dari represi Kremlin terhadap sektor teknologi, jauh sebelum invasi Ukraina. Yandex dipaksa menyaring informasi politik sensitif, meskipun sebelumnya menjadi simbol keberhasilan teknologi Rusia di luar industri minyak dan gas. Invansi 2022 menghancurkan keseimbangan tersebut, dengan banyak eksekutif dan karyawan meninggalkan Rusia.

Penolakan terhadap Kebijakan Kremlin

Salah satu penolakan paling tegas datang dari Arkady Volozh, salah satu pendiri Yandex. Pada 2023, dia secara terbuka mengecam kebijakan Moskwa. "Invasinya barbar, dan saya secara tegas menentangnya," ujarnya. Pernyataan ini kemudian membuka jalan bagi Uni Eropa untuk mencabut sanksi terhadapnya pada tahun berikutnya.

Pada awal 2024, Yandex resmi melepas seluruh asetnya di Rusia dengan harga diskon besar kepada investor yang dekat dengan Kremlin. Sementara itu, aset non-Rusia direstrukturisasi dan berdiri dengan nama baru, Nebius. Transformasi ini menandai berakhirnya era Yandex sebagai raksasa teknologi Rusia, sekaligus lahirnya pesaing baru dalam industri komputasi awan global.

Tantangan di Dalam Negeri

Sementara itu, Yandex di Rusia harus beroperasi dalam iklim ekonomi yang kian termiliterisasi dan kehilangan banyak talenta terbaiknya. Perusahaan teknologi domestik lebih fokus pada pasar dalam negeri daripada membangun jaringan global. Berkurangnya kehadiran perusahaan asing memang mengurangi persaingan lokal, tetapi sekaligus memadamkan ambisi Rusia untuk berperan di tingkat internasional.

Harapan bahwa Rusia bisa kembali melahirkan perusahaan teknologi besar pun pupus. Tradisi panjang ekspor talenta, dari Igor Sikorsky hingga Sergey Brin, memang berlanjut, tetapi ironisnya justru pada saat negara sangat membutuhkan mereka untuk bersaing dalam revolusi AI. Dengan AI dipandang sebagai salah satu lompatan teknologi terbesar abad ini, keputusan Putin membungkam ekosistem teknologi domestik membuat Rusia semakin tertinggal.

Posting Komentar