Psikiater Tidak Cocok? Ini Tanda Kamu Butuh Pandangan Lain

Pentingnya Mencari Psikiater yang Tepat dalam Perjalanan Kesehatan Mental
Mencari bantuan dari psikiater adalah langkah penting dalam merawat kesehatan mental. Seperti halnya mencari dokter untuk masalah fisik, pengalaman dengan psikiater bisa sangat berbeda bagi setiap individu. Beberapa pasien merasa terbantu dan mendapatkan arahan yang jelas, sementara yang lain mungkin merasa tidak nyaman atau bahkan bingung setelah sesi konsultasi.
Di balik keahlian medis dan reputasi profesional, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk berproses dengan seorang psikiater. Memahami tanda-tanda peringatan (red flag) atau hal-hal yang bisa menjadi pertimbangan sejak awal akan membantu kamu sebagai pasien merasa lebih aman dan percaya diri.
1. Pemeriksaan Kesehatan Mental Lebih Rumit Dibanding Penyakit Fisik
Pemeriksaan kesehatan mental memiliki tantangan tersendiri dibanding penyakit fisik. Menurut dr. Nicholas Hardi, Sp.KJ, spesialis kesehatan jiwa di Rumah Sakit Atma Jaya, dinamika pasien dengan gangguan jiwa biasanya lebih kompleks. Berbeda dengan penyakit fisik yang umumnya lebih mudah dikenali gejalanya, masalah psikologis sering kali melibatkan aspek sosial, pengalaman masa lalu, serta hal-hal personal yang dianggap tabu atau terlalu intim untuk dibicarakan.
Hal ini membuat psikiater dituntut lebih peka dalam memahami pasien yang berada di posisi rentan. Di tengah kompleksitas itu, masalah batasan atau boundaries antara dokter dan pasien juga bisa muncul dan memengaruhi jalannya terapi. Hubungan terapeutik yang terbangun bisa bergeser secara fluid, baik menuju ke arah senang maupun merasa tidak suka.
2. Beberapa Psikiater Kerap Terburu-buru
Hubungan antara pasien dan psikiater adalah fondasi utama keberhasilan terapi. Tanpa rasa percaya dan komunikasi yang baik, sesi konsultasi bisa terasa kosong meskipun dilakukan secara rutin. Contohnya adalah Dina (28 tahun), seorang pasien dengan gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder). Ia mengaku sempat merasa tidak cocok dengan psikiater pertamanya karena konsultasinya tidak efektif.
Psikiater tersebut sering tampak terburu-buru dan pertanyaan yang diajukan cenderung sama pada setiap sesi tanpa evaluasi lebih mendalam. Keputusan Dina untuk mencari opini kedua akhirnya terbukti tepat. Bersama psikiater yang baru, ia merasa lebih diperhatikan dan benar-benar didengarkan hingga kondisinya berangsur membaik.
3. Pendekatan Harus Disesuaikan dengan Kebutuhan Pasien
Dalam terapi kesehatan mental, komunikasi yang baik adalah kunci utama agar tujuan pengobatan tercapai. Psikiater yang terburu-buru bisa berisiko bagi pasien. Menurut dr. Nicholas, hubungan dokter dan pasien pada dasarnya adalah interaksi antar dua manusia: satu pihak membutuhkan bantuan, sementara pihak lain berusaha menolong. Agar relasi ini efektif, keduanya perlu memiliki kesamaan persepsi mengenai apa yang ingin dicapai.
Dalam konteks psikiatri, hal ini berarti psikiater harus mampu menangkap tujuan spesifik yang dibutuhkan pasien. Dengan dasar komunikasi yang terbuka dan saling memahami, barulah psikiater dapat menentukan langkah yang tepat, apakah melalui pemberian obat, psikoterapi, atau konseling.
4. Pentingnya Diagnosis Akurat
Proses diagnosis dalam psikiatri seharusnya tidak dilakukan secara terburu-buru. Iklas (26 tahun) sudah tujuh tahun terakhir rutin berobat ke psikiater karena sering dilanda rasa gelisah. Dalam perjalanannya, ia mendapati bagaimana setiap dokter bisa memberi diagnosis berbeda, mulai dari ADHD, bipolar psikosis, hingga sekadar gangguan kecemasan biasa.
Beberapa dokter banyak yang tergesa-gesa dalam memberikan diagnosis, padahal belum tentu itu diagnosisnya. Banyak yang langsung meresepkan obat tanpa evaluasi menyeluruh. Hal ini bisa menjadi tanda peringatan jika pasien merasa tidak nyaman.
5. Pasien Harus Menyampaikan Keluhan Secara Terbuka
Tidak semua metode yang disarankan oleh psikiater akan langsung terasa cocok bagi pasien. Menurut dr. Nicholas, ini wajar karena setiap individu memiliki preferensi dan respons yang berbeda terhadap terapi. Ada pasien yang lebih nyaman dengan psikoterapi dibanding obat, ada pula yang membutuhkan kombinasi keduanya.
Kuncinya adalah berdiskusi secara terbuka dengan psikiater. Melalui diskusi, pasien dapat memahami alasan di balik rekomendasi dokter, termasuk apakah metode tersebut terbukti membantu pasien lain dengan kondisi serupa. Jika setelah berdiskusi pasien tetap merasa tidak cocok, atau psikiater mengakui kasus tersebut berada di luar keahliannya, mencari opini kedua adalah pilihan yang sah.
6. Kapan Harus Mempertimbangkan untuk Ganti Psikiater?
Mencari psikiater yang tepat bukan hanya soal keahlian medis, tetapi juga tentang bagaimana hubungan terapeutik atau therapeutic alliance terbentuk. Menurut dr. Nicholas, hubungan ini idealnya ditopang oleh prinsip active listening, empati, serta menjaga kerahasiaan pasien.
Jika psikiater justru terlihat tidak mendengarkan, maka ini bisa menjadi sinyal serius untuk mencari psikiater lain. Red flag yang perlu diwaspadai adalah ketika psikiater gagal mendengarkan secara aktif, tidak menunjukkan empati, dan membuat pasien kehilangan rasa percaya. Pada titik itu, mengganti psikiater bisa menjadi langkah terbaik agar perjalanan terapi tetap sehat dan produktif.
Mengenali red flag sejak awal akan membantu kamu sebagai pasien terhindar dari pengalaman yang merugikan. Pada akhirnya, hubungan antara dokter dan pasien harus dilandasi kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, pasien berhak mencari dokter lain demi mendapatkan pengobatan yang optimal.
Posting Komentar