Tools:
Powered by AdinJava

Hak Kesehatan Mental Lansia dalam UU Kesehatan

Table of Contents
Featured Image

Kategori Lansia dan Tantangan dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Indonesia

Di Indonesia, kriteria untuk mengategorikan seseorang sebagai lansia biasanya ditentukan oleh usia. Secara umum, seseorang dianggap masuk dalam kategori lansia jika telah mencapai usia 60 tahun. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang secara eksplisit menyatakan bahwa lanjut usia adalah orang yang berusia 60 tahun atau lebih.

Dalam konteks pelayanan kesehatan, terutama di bidang geriatri, kriteria usia dibagi menjadi tiga kategori:

  • Lansia Muda (Young-old): Usia 60 hingga 74 tahun
  • Lansia Madya (Middle-old): Usia 75 hingga 89 tahun
  • Lansia Tua (Old-old / Very Old): Usia 90 tahun ke atas

Setiap kategori memiliki fokus pelayanan medis yang berbeda. Untuk lansia muda, fokus utamanya adalah pencegahan, promosi kesehatan, dan pemeliharaan fungsi sosial. Sementara itu, lansia madya membutuhkan manajemen penyakit kronis, pencegahan komplikasi, serta rehabilitasi. Untuk lansia tua, pelayanan medis lebih menekankan pada perawatan paliatif, peningkatan kualitas hidup, dan perawatan jangka panjang.

WHO menggunakan batas usia 60 tahun untuk negara berkembang karena rata-rata harapan hidup (UHH) yang relatif lebih rendah dan usia pensiun yang cenderung lebih awal dibandingkan negara maju. Kriteria ini sejalan dengan kebijakan di Indonesia, sehingga memperkuat legitimasi penggunaan batas usia 60 tahun dalam kebijakan publik.

Peningkatan Populasi Lansia di Indonesia

Peningkatan jumlah penduduk lansia tidak hanya terjadi secara nominal, tetapi juga secara persentase. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki struktur penduduk menua (aging structure). Berikut data populasi lansia di Indonesia dari tahun 1990 hingga 2023:

  • Tahun 1990: 11,09 juta jiwa (5,74% dari total penduduk)
  • Tahun 2000: 14,35 juta jiwa (7,18%)
  • Tahun 2010: 21,68 juta jiwa (8,24%)
  • Tahun 2020: 28,66 juta jiwa (10,75%)
  • Tahun 2023: Sekitar 31,50 juta jiwa (sekitar 11,7%)

Rasio ketergantungan lansia (Old Age Dependency Ratio) pada tahun 2020 mencapai 16,69, yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 17 orang lansia. Proyeksi pada tahun 2045 menunjukkan bahwa rasio ini akan meningkat menjadi 30,3. Rasio ketergantungan yang tinggi ini menunjukkan bahwa masalah depresi lansia bukan hanya menjadi beban individu dan keluarga, tetapi juga memengaruhi produktivitas nasional dan keberlanjutan sistem jaminan kesehatan.

Depresi pada Lansia: Masalah yang Terlewat

Penuaan membawa tantangan seperti kehilangan fisik, sosial, dan peran (seperti pensiun atau ditinggal pasangan), yang bisa memicu kesedihan. Namun, ketika kesedihan ini menetap dan intensitasnya semakin parah, maka hal tersebut berubah menjadi depresi klinis. Ini merupakan kondisi medis yang harus diobati.

Depresi lansia sering kali terlewat atau dinormalisasi karena gejalanya tidak selalu terlihat sebagai kesedihan atau mood yang tertekan. Banyak lansia mengeluhkan sakit kepala, nyeri punggung, masalah pencernaan, atau kelelahan persisten tanpa penyebab jelas. Manifestasi depresi bisa berupa mudah marah atau sangat cemas, bukan selalu murung.

Ketika lansia datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan fisik, fokus tindakan medis langsung tertuju pada gejala fisik tersebut. Dokter dan keluarga cenderung mengabaikan gejala inti depresi, karena menganggapnya sebagai efek samping dari penyakit fisik atau usia. Bahkan profesional kesehatan yang tidak terlatih dalam geriatri bisa terjebak dalam bias normalisasi.

Regulasi dan Implementasi di Lapangan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memberikan kerangka perlindungan yang memadai untuk kesehatan jiwa lansia. Pasal 49 Ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin akses pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan bagi setiap orang, termasuk lansia. Pasal 51 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan jiwa wajib diselenggarakan secara berjenjang, termasuk skrining depresi di fasilitas primer.

Namun, implementasi masih menghadapi kendala. Salah satu celah terbesar adalah ketiadaan peraturan teknis yang mewajibkan skrining depresi rutin pada semua lansia yang berkunjung. Saat ini, skrining depresi bersifat opsional dan hanya dilakukan jika tenaga medis mencurigai adanya gejala. Selain itu, jumlah psikiater geriatri di Indonesia sangat minim, dan dokter atau perawat di fasilitas primer seringkali tidak memiliki kemampuan spesifik untuk mengenali masked depression (depresi yang disembunyikan di balik keluhan fisik).

Solusi dan Langkah yang Diperlukan

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memprioritaskan pelatihan yang masif dan terstruktur bagi tenaga kesehatan primer. Pelatihan ini harus mencakup:

  • Membedakan kesedihan normal dari depresi klinis pada lansia
  • Penggunaan instrumen skrining yang valid
  • Manajemen psikososial awal, seperti konseling sederhana

Selain itu, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana yang mewajibkan penerapan skrining depresi lansia yang terstruktur, seperti penggunaan Geriatric Depression Scale (GDS), di setiap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Selain itu, diperlukan alokasi anggaran yang jelas dan spesifik untuk pelayanan kesehatan jiwa lansia, mulai dari penyediaan instrumen skrining, pengadaan obat-obatan antidepresan, hingga biaya pelatihan SDM.

SDM kesehatan yang terlatih adalah fondasi agar intervensi yang tepat dapat diberikan. Kewajiban negara harus dibarengi dengan komitmen finansial. Kualitas peradaban suatu bangsa dapat diukur dari bagaimana ia memperlakukan kelompok yang paling rentan, salah satunya adalah lansia.

Posting Komentar