Ditetapkan, Kebijakan Energi Nasional Dianggap Hambat Transisi Bersih

Kebijakan Energi Nasional yang Dinilai Menghambat Transisi Bersih
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru saja diterbitkan pada 15 September lalu menimbulkan kekhawatiran terkait ambisi pengembangan energi terbarukan. Kebijakan ini dinilai mengurangi komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi menuju energi bersih dan justru memperluas dominasi batu bara sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik hingga beberapa dekade ke depan.
Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menyatakan bahwa langkah ini berpotensi mengunci negara dalam ketergantungan pada energi kotor yang akan menyulitkan peralihan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Ia juga menyoroti risiko adanya aset yang tidak terpakai (stranded asset) dari investasi energi bersih yang sudah ada sebelumnya.
Target Energi Terbarukan yang Rendah
PP Nomor 40 Tahun 2025 menjadi pedoman utama dalam arah pengembangan energi nasional, mulai dari tujuan penyediaan energi hingga kerangka transisi dan dekarbonisasi sektor energi. Dalam kebijakan ini, target energi terbarukan hanya ditetapkan sebesar 19–21 persen pada 2030, kemudian naik bertahap hingga 58–61 persen pada 2060.
Namun, ICEL menilai angka target tersebut sangat rendah dibandingkan potensi teknologi energi terbarukan Indonesia yang mencapai lebih dari 3.000 GW. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen percepatan transisi energi. Selain itu, porsi batu bara tetap tinggi dalam skenario energi nasional, yaitu 47–50 persen pada 2030, 38–41 persen pada 2040, 22–25 persen pada 2050, dan 8–10 persen pada 2060.
Selain batu bara, PP KEN juga menempatkan gas bumi sebagai pilar energi jangka panjang dengan target porsi 12,9–14,2 persen pada 2030, meningkat hingga 17,1–17,3 persen pada 2050, dan tetap sebesar 14,4–15,4 persen pada 2060. Proses akhir gas direncanakan mencapai 56,6–71,1 juta TOE pada 2060.
Risiko dari Ekspansi Bioenergi
Dalam bagian lainnya, PP KEN menempatkan biomassa, biogas, dan bahan bakar nabati sebagai komponen penting bauran energi hingga 2060. Meskipun terlihat adanya ambisi, kebijakan ini berisiko memicu trade-off dengan ketahanan pangan, penggunaan lahan, dan emisi sektor FOLU (Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya).
Syaharani menegaskan bahwa tanpa mekanisme safeguard yang ketat, ekspansi bioenergi berisiko memicu deforestasi, perampasan lahan, serta konflik agraria. Bahan baku seperti sawit dan jagung sering diambil dari perkebunan skala besar, yang dapat merugikan masyarakat lokal.
Ketidakadilan dalam Transisi Energi
ICEL menilai PP KEN gagal menghitung biaya eksternalitas energi fosil dan justru mendorong alokasi sumber daya yang tidak efisien. Operasional PLTU batubara, misalnya, berkontribusi pada sekitar 6.500 kematian dini per tahun akibat polusi udara, yang menambah beban besar bagi sistem kesehatan publik.
Selain itu, proyek energi berbasis batu bara berskala besar, secara historis, rawan memicu konflik agraria dan mengabaikan hak masyarakat lokal maupun adat. Dari sisi ekonomi, PP KEN dinilai masih memberikan subsidi besar bagi energi bahan bakar fosil dan malah mendorong solusi mahal dengan risiko tinggi, seperti nuklir dan Carbon Capture Storage, dibandingkan energi terbarukan.
Mendorong Transisi Energi yang Adil
Melihat arah kebijakan dalam PP KEN 2025 yang menurunkan ambisi energi terbarukan dan mempertahankan dominasi energi fosil, ICEL mendesak pemerintah untuk memastikan transisi energi yang adil. Hal ini meliputi segera beralih ke energi bersih dan menetapkan target energi terbarukan yang lebih ambisius.
Selain itu, diperlukan partisipasi aktif masyarakat terdampak, penciptaan lapangan kerja hijau, serta perlindungan hak masyarakat adat dan lokal. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan transisi energi dapat dilakukan secara berkelanjutan dan adil bagi seluruh pihak.
Posting Komentar