Tools:
Powered by AdinJava

Ahli Ungkap Penyakit Thalassemia dan Malaria pada Manusia Prasejarah di Gua Harimau

Table of Contents
Featured Image

Temuan Menarik dari Gua Harimau

Sebuah temuan mengejutkan telah muncul dari analisis sisa rangka manusia prasejarah yang ditemukan di Gua Harimau, Sumatera Selatan. Dari penelitian tersebut, ditemukan indikasi penyakit yang sebelumnya belum pernah teridentifikasi, yaitu malaria dan thalassemia. Penemuan ini memberikan wawasan baru tentang kesehatan dan kondisi hidup masyarakat prasejarah di wilayah tersebut.

Pendiri dan Ketua Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia (Center for Prehistory and Austronesian Studies/CPAS), Truman Simanjuntak, menjelaskan bahwa tim kolaborasi antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), CPAS, dan peneliti bioarkeologi dari Universitas Notre Dame Australia, Melandri Vlok, telah melakukan analisis terhadap sisa-sisa rangka manusia dari Gua Harimau. Menurutnya, temuan ini memperluas catatan penyakit yang sebelumnya hanya mencakup tuberkulosis, karies, dan bruksisme. Kolaborasi ini memiliki potensi besar dalam membuka berbagai kemungkinan dalam studi patologi prasejarah di Indonesia dengan perspektif Asia Tenggara.

Thalassemia: Penyakit Genetik yang Berdampak pada Kesehatan

Thalassemia adalah penyakit genetik bawaan yang mengganggu produksi hemoglobin, protein penting dalam sel darah merah yang bertugas membawa oksigen. Kondisi ini menyebabkan anemia atau kekurangan darah pada penderitanya. Para peneliti menggunakan pendekatan bioarkeologi untuk mengungkap sejarah penyakit pada populasi masa lalu melalui jejak yang tercatat pada tulang, gigi, dan unsur biomolekuler.

Truman menekankan bahwa Gua Harimau memiliki nilai arkeologis yang sangat tinggi karena kekayaan temuannya. Situs ini mencatat sejarah hunian yang panjang, mulai dari zaman Paleolitik Atas hingga Paleometalik. Selain itu, situs ini juga memiliki lebih dari 80 penguburan manusia di luar temuan rangka lepas. Gua Harimau juga menjadi tempat ditemukannya seni cadas pertama di Pulau Sumatera serta artefak logam tertua di Indonesia prasejarah, dengan usia sekitar abad ke-4 SM hingga abad ke-1 M.

Hubungan antara Malaria dan Thalassemia

Melandri Vlok menjelaskan bahwa thalassemia merupakan kelainan genetik pada rantai hemoglobin alfa/beta. Kondisi ini dapat menyebabkan anemia berat, sehingga tulang mengalami adaptasi seperti ekspansi sumsum atau hiperplasia. Hal ini menyebabkan tulang menebal tetapi berpori, serta perubahan khas pada tulang wajah dan rahang.

Vlok menegaskan bahwa meskipun malaria tidak bisa dilihat langsung, adanya banyak kerangka dengan ciri thalassemia menunjukkan bahwa malaria pasti ada di lingkungan saat itu. Di daerah yang endemi malaria, gen thalassemia justru bertahan dalam populasi karena pembawa sifat ini memiliki kelebihan, yaitu sel darah merah yang rusak lebih cepat, sehingga parasit malaria sulit berkembang biak.

Temuan Langka di Gua Harimau

Dari analisis awal terhadap sekitar 25 jasad kerangka manusia dari Gua Harimau, ditemukan sekitar empat kasus thalassemia. Vlok menyatakan bahwa temuan ini sangat menggembirakan dan langka, terutama dari periode logam. Salah satu individu yang ditemukan adalah seorang perempuan berusia 17–18 tahun dengan tulang yang sangat rapuh dan memerlukan pembersihan sangat hati-hati di laboratorium. Citra rontgen menunjukkan tanda khas thalassemia, termasuk penebalan dan porositas khas serta lesi tulang pada iga.

Selain itu, tim juga menemukan janin sekitar 38 minggu dalam posisi pra-persalinan yang menunjukkan tanda kuat thalassemia pada iga dan tulang panjang. Ini adalah bukti langsung pertama tentang pewarisan thalassemia dari ibu kepada bayi dalam rekam arkeologis.

Konteks Ekologis dan Perluasan Riset

Vlok menjelaskan bahwa malaria di Asia Tenggara lebih terkait dengan habitat hutan vektor nyamuk Anopheles daripada irigasi sawah. Aktivitas seperti perburuan dan permukiman di hutan dianggap lebih relevan dalam menjelaskan paparan malaria, termasuk di konteks Gua Harimau.

Untuk metode lanjutan, rencana Gua Harimau bagian dua mencakup perluasan rontgen untuk melihat kompromi struktur dari dalam, studi mortalitas dan stunting, pemodelan epidemiologi spasial berbasis GIS, serta eksplorasi pendekatan metabolomik dan proteomik untuk mendeteksi jejak respons tubuh terhadap infeksi maupun jejak parasit pada material tulang.

Pentingnya Riset Lanjutan dan Diseminasi

Sofwan Noerwidi, Kepala PR Arkeometri BRIN, menilai kajian paleopatologi khususnya thalassemia dan malaria masih jarang di Indonesia dan Asia Tenggara, namun sangat menjanjikan. Ia mengapresiasi kontribusi tim CPAS dan para peneliti yang telah merealisasikan kolaborasi ini, serta mendorong keberlanjutan diseminasi hasil riset ke depan.

BRIN memiliki laboratorium kriogenomik untuk studi biologi struktural serta fasilitas penelitian DNA. Ke depan, laboratorium ini dapat diperluas fungsinya untuk menjangkau DNA purba. Ia melihat pentingnya mengintegrasikan temuan paleopatologi dengan ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia, membuka kemungkinan skema Degree by Research yang khusus membidik tema thalassemia dan malaria prasejarah.

Skema ini akan memungkinkan mahasiswa pascasarjana untuk terlibat dalam proyek riset kolaboratif internasional. Dengan kemitraan antarlembaga, baik BRIN, universitas dalam negeri maupun luar negeri, serta pusat riset mitra, kita bisa melahirkan generasi peneliti baru yang tidak hanya kuat secara teori, tetapi juga terlatih langsung dengan metode riset kelas dunia.

Langkah ini tidak hanya penting dari sisi akademik, tetapi juga relevan dengan isu kesehatan publik di kawasan tropis. Studi paleopatologi thalassemia-malaria dapat memberi gambaran historis mengenai bagaimana penyakit-penyakit tersebut menyebar, bertahan, dan beradaptasi bersama populasi manusia. Hasilnya akan sangat bermanfaat, bukan hanya untuk ilmu pengetahuan murni, tetapi juga sebagai dasar kebijakan kesehatan masyarakat di Asia Tenggara.

Posting Komentar