Tools:
Powered by AdinJava

Tutut, Rasa Kampung yang Abadi dalam Selera Zaman

Table of Contents
Tutut, Rasa Kampung yang Abadi dalam Selera Zaman

Kenangan Masa Kecil yang Kembali Hadir di Jakarta

Di tengah keramaian Jakarta Pusat, aku kembali bertemu dengan salah satu makanan favorit masa kecilku: tutut, si keong sawah yang lezat. Saat itu, aku diajak oleh seorang sahabat kecilku untuk makan di Sate Maranggi Haji Yetty cabang Cempaka Putih. Ketika melihat menu, mataku langsung tertarik pada kata yang membuat nostalgia mengalir deras.

Tanpa berpikir panjang, aku memesannya, dan seketika ingatan tentang sore-sore di kampung menyerbu. Aku duduk di beranda sambil menikmati daging tutut langsung dari cangkangnya. Tutut bukan sekadar lauk sederhana, ia menyimpan cerita panjang tentang kehidupan masyarakat agraris yang akrab dengan sawah dan segala yang tumbuh di dalamnya.

Dari camilan kampung hingga menu di restoran, perjalanan tutut adalah bukti bahwa kuliner bersahaja bisa melintasi zaman sekaligus membawa pulang kenangan.

Mengenal Si Keong Sawah

Tutut, atau Filopaludina javanica, adalah sejenis siput air tawar yang hidup di sawah, rawa, dan perairan tenang lainnya. Dalam bahasa Jawa Timur, tutut lebih sering disebut kreco. Aku sendiri sejak kecil lebih terbiasa menyebutnya tutut karena ibuku berasal dari Jawa Barat, tanah Sunda yang memang erat dengan kuliner ini.

Meski penyebutan berbeda, esensinya sama: hewan kecil bercangkang ini pernah begitu lekat dengan keseharian orang desa. Habitatnya dekat sekali dengan kehidupan petani: di pematang sawah yang tergenang air, di selokan kecil yang jernih, atau di cekungan tanah penuh air hujan. Tak heran bila tutut dulu mudah ditemukan, terutama saat musim tanam.

Meski tampilannya sederhana, tutut menyimpan kandungan gizi yang cukup tinggi. Ia kaya protein, mengandung kalsium yang baik untuk tulang, serta relatif rendah kolesterol. Selain itu, beberapa vitamin dan mineral penting juga ada di dalamnya, menjadikannya sumber makanan bergizi yang sering terlupakan.

Kisah Tutut di Balik Budaya

Dahulu, anak-anak sering berlomba-lomba mengumpulkannya, lalu pulang membawa segenggam keong yang kemudian dimasak ibu di dapur. Di banyak daerah, tutut bukan sekadar lauk, melainkan simbol keterhubungan dengan alam: apa yang ada di sekitar sawah bisa langsung menjadi santapan bergizi.

Dalam tradisi Sunda, tutut bahkan dianggap kuliner khas yang menemani nasi panas di warung-warung makan kecil. Rasanya gurih dengan bumbu yang meresap ke dagingnya, membuatnya jadi camilan favorit dari dulu hingga kini. Meski begitu, keberadaan tutut mulai jarang terlihat di meja makan sehari-hari, seiring makin berkurangnya lahan sawah dan berubahnya pola makan masyarakat.

Namun, seperti yang kualami di Jakarta tempo hari, tutut ternyata masih bertahan. Kini ia hadir bukan hanya di dapur desa, tetapi juga di restoran modern, menjadi jembatan rasa antara nostalgia masa kecil dan selera kuliner masa kini.

Cara Memasak Tutut ala Rumahan

Memasak tutut sebenarnya sederhana, tetapi ada beberapa langkah penting agar rasanya gurih, teksturnya empuk, dan aman dikonsumsi:

a. Pembersihan

Tutut direndam dan dicuci berulang kali untuk menghilangkan lumpur. Setelah itu, potong sedikit ujung cangkangnya agar daging lebih mudah keluar saat dimakan. Supaya bersih dari lendir dan bau amis, tutut bisa diberi perasan lemon, didiamkan sebentar, lalu dicuci kembali.

b. Perebusan Awal

Langkah berikutnya adalah merebus tutut dengan garam sekitar 15 menit, kemudian buang airnya. Tujuannya agar tutut makin bersih dari lumpur atau lumut. Setelah itu, rebus kembali dalam air mendidih selama 15 menit agar teksturnya lebih empuk dan lebih mudah diseruput.

c. Teknik Memasak

Ada banyak variasi, beberapa yang populer: - Bumbu kuning: tumisan bumbu halus (kunyit, kemiri, cabai, bawang merah, bawang putih) ditambah lengkuas, asam jawa, serai, daun salam, dan daun jeruk, menghasilkan aroma harum segar. - Tumis pedas: cabai rawit, bawang merah, bawang putih, dan daun kemangi yang membuat rasa lebih mantap. - Kuah santan: perpaduan rempah dengan santan yang memberi rasa gurih nan kaya.

d. Cara Menikmati

Dahulu, tutut disantap dengan meniup sedikit bagian bawah cangkang, lalu menyeruput dagingnya langsung dari cangkang. Unik, kan? Kalau sekarang, orang lebih sering menggunakan tusuk gigi agar praktis dan lebih mudah.

Menyedot daging kecil dari cangkang itu memang jadi kenikmatan tersendiri—apalagi ketika bumbu pedas gurih ikut terbawa sampai ke ujung lidah. Kalau sudah menikmati tutut, suka lupa diri. Jangan-jangan kalau mertua lewat pun aku tak sempat menyapa, apalagi menawari, saking khusyuknya menyeruput isi cangkang satu per satu.

Tutut: Simbol Kuliner Lokal

Tutut bukan sekadar hidangan biasa dari sawah dan rawa, melainkan juga potongan kecil dari perjalanan kuliner dan budaya kita. Dari cara menikmatinya yang unik hingga perbedaan sebutan antara daerah, tutut menyimpan cerita tentang keragaman tradisi dan selera.

Di balik cangkang kecilnya, ia mengajarkan bahwa sesuatu yang tampak sepele bisa memberi rasa, gizi, bahkan kenangan yang melekat. Menyantap tutut berarti merayakan kedekatan dengan alam, kehangatan keluarga, serta kearifan lokal yang patut terus dijaga.

Posting Komentar