Studi Terbaru: Daging Tidak Berkaitan dengan Risiko Kematian Dini

Studi Baru Menunjukkan Tidak Ada Hubungan Antara Konsumsi Protein Hewani dan Risiko Kematian Dini
Selama beberapa dekade, isu tentang konsumsi protein hewani seperti daging, telur, dan susu selalu menjadi topik perdebatan. Banyak penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa asupan protein hewani yang tinggi bisa meningkatkan risiko kanker atau penyakit jantung, sehingga memperpendek usia harapan hidup. Di sisi lain, protein nabati sering dianggap lebih aman dan bermanfaat bagi kesehatan.
Namun, sebuah analisis terbaru dari studi National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika Serikat memberikan perspektif baru. Dalam studi ini, para peneliti mengamati lebih dari 15.000 orang dewasa selama 12 tahun. Hasilnya mengejutkan: konsumsi protein dalam jumlah wajar, baik hewani maupun nabati, tidak berkorelasi dengan risiko kematian dini, termasuk kanker atau penyakit kardiovaskular.
Detail Studi
Studi ini melibatkan peserta berusia 19 tahun ke atas, data mereka dikumpulkan antara tahun 1988 hingga 1994. Selama periode tindak lanjut, para peneliti mencatat penyebab kematian dan menghubungkannya dengan pola asupan protein.
Mengukur asupan protein bukanlah hal mudah karena pola makan setiap individu bisa berubah-ubah. Untuk mengurangi kesalahan pengukuran, tim peneliti menggunakan metode statistik canggih bernama Multivariate Markov Chain Monte Carlo (MCMC), yang membantu memperkirakan asupan gizi harian secara akurat.
Asupan protein dibagi menjadi dua kategori: hewani (daging, telur, susu) dan nabati (kacang-kacangan, biji-bijian, serta serealia). Peneliti juga mengukur kadar hormon insulin-like growth factor 1 (IGF-1), yang sebelumnya dikaitkan dengan risiko kanker.
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kadar IGF-1, asupan protein, dan angka kematian. Bahkan, pada sebagian peserta, konsumsi protein hewani sedikit mengurangi risiko kematian akibat kanker.
Efek yang Konsisten
Yang menarik adalah efek ini tetap konsisten meskipun dianalisis berdasarkan kelompok usia, baik untuk peserta di bawah 65 tahun, usia paruh baya, maupun lansia. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang menganggap diet tinggi protein berbahaya terutama bagi usia pertengahan.
Para peneliti menduga bahwa perbedaan metodologi menjadi alasan utama mengapa hasil penelitian terdahulu berbeda. Banyak studi lama menggunakan metode estimasi yang lebih sederhana, sementara studi terbaru ini menggunakan pendekatan yang lebih modern dan data yang lebih lengkap.
Berapa Jumlah Protein yang Ideal?
Kebutuhan protein minimal adalah 0,8 gram per kilogram berat badan per hari, dan kisaran sehat berada antara 10–35 persen dari total kalori harian. Artinya, mengonsumsi lebih dari angka minimum tetap aman selama masih dalam rentang yang dianjurkan.
Namun, tidak semua sumber protein sama. Daging olahan tetap terbukti meningkatkan risiko penyakit jantung dan kanker. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kualitas protein yang dikonsumsi.
Kebutuhan Protein Berbeda-Beda
Setiap individu memiliki kebutuhan protein yang berbeda. Tidak ada satu aturan universal. Misalnya, lansia bisa mendapat manfaat dari asupan protein yang lebih tinggi untuk menjaga massa otot. Atlet membutuhkan tambahan protein untuk pemulihan tubuh. Sementara itu, orang yang sedang sakit, cedera, atau dalam masa pemulihan juga memerlukan asupan ekstra.
Bagi vegetarian dan vegan, penting untuk memastikan kombinasi sumber protein nabati yang tepat agar profil asam amino lengkap.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, protein, baik hewani maupun nabati, tidak perlu ditakuti. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan melalui pola makan seimbang, memperhatikan kualitas, dan menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh masing-masing.
Posting Komentar