Sejarah Vaksin Campak: Inovasi, Tantangan, dan Dampak

Sejarah Vaksin Campak dan Perkembangannya
Campak adalah salah satu penyakit paling menular yang pernah dihadapi manusia. Penyakit ini sudah dideskripsikan sejak abad ke-9 oleh Abū Bakr Muhammad Zakariyyā Rāzī, seorang tabib dan cendekiawan Persia. Pada 1757, dokter Skotlandia Francis Home menemukan bahwa campak disebabkan oleh suatu patogen dengan menularkan penyakit tersebut kepada individu sehat menggunakan darah pasien yang terinfeksi.
Wilayah-wilayah di dunia yang sebelumnya tidak pernah terpapar virus campak sangat rentan. Wabah virus ini berdampak melumpuhkan pada komunitas terpencil seperti Kepulauan Faroe pada 1846, Hawaii pada 1848, Fiji pada 1875, dan Rotuma pada 1911. Di negara-negara maju, kemajuan kesehatan masyarakat, termasuk perbaikan gizi, membuat angka kematian menurun pada abad ke-20.
Terobosan Ilmiah: 1954–1963
Pada 1954, sebuah wabah campak di sekolah asrama di pinggiran Boston, Massachusetts, AS, memberikan kesempatan bagi para dokter di Boston Children’s Hospital untuk mencoba mengisolasi virus campak. Thomas Peebles, MD, berhasil mengisolasi virus dari bocah 11 tahun bernama David Edmonston. Dari kultur yang diperoleh, vaksin pertama melawan campak dapat dikembangkan.
John Franklin Enders, yang sering disebut “bapak vaksin modern”, mengembangkan vaksin campak dari galur “Edmonston-B”. Pada 1961, vaksin tersebut dipuji 100 persen efektif dan mendapat lisensi untuk penggunaan publik pada 1963. Negara-negara secara individual memperkenalkan program vaksinasi massal melawan campak di tingkat nasional sejak 1960-an.
Ekspansi Program Vaksinasi: 1960-an
Mulai 1960-an, banyak negara memperkenalkan program vaksinasi massal terhadap campak di tingkat nasional. Program imunisasi yang berfokus internasional pertama digelar di Afrika sejak 1966. WHO bekerja sama dengan pemerintah lebih dari 20 negara baru merdeka di Afrika barat dan tengah, berkolaborasi dengan USAID dan CDC, untuk memberikan vaksinasi dengan tujuan ganda, yaitu mengendalikan campak dan memberantas cacar.
Meski menghadapi tantangan seperti rantai dingin untuk vaksin yang peka panas, kampanye ini membuktikan efektivitas vaksinasi. Pada Mei 1967, Gambia menjadi negara pertama di dunia yang menghentikan transmisi virus campak.
Penyempurnaan Vaksin: 1968–2005
Pada 1968, Dr. Maurice Hilleman melemahkan virus dengan melewatkannya melalui sel embrio ayam sebanyak 40 kali, menghasilkan vaksin dengan efek samping lebih ringan. Versi yang lebih lemah ini, dikenal sebagai galur Edmonston–Enders, dikembangkan menjadi beberapa galur yang masih digunakan pada vaksin campak hingga sekarang.
Tahun 1971, Hilleman menggabungkan vaksin campak, gondongan, dan rubella menjadi vaksin MMR—diberikan sebagai satu suntikan, diikuti satu dosis penguat. Pada 2005, vaksin varisela ditambahkan, membentuk MMRV. Vaksin campak tunggal tetap tersedia di banyak negara.
Penguatan Sistem Imunisasi Global: Sejak 1974
Tahun 1974, campak menjadi salah satu penyakit pertama yang menjadi target WHO saat mendirikan Expanded Programme on Immunization (EPI). Vaksinasi anak yang meluas telah menurunkan angka penyakit secara drastis di skala global. WHO kini merekomendasikan vaksinasi pada usia 9 bulan di wilayah yang campaknya umum, dan pada usia 12–15 bulan di wilayah lain.
Dosis kedua direkomendasikan untuk semua anak, sangat penting untuk melindungi sekitar 15 persen anak yang belum membentuk kekebalan protektif setelah dosis pertama.
Kemunduran Sementara Akibat Sebuah Makalah yang Bermasalah
Pada 1998, terjadi kemunduran kecil ketika sebuah makalah yang bermasalah terbit dalam jurnal The Lancet dan mengklaim kaitan vaksin MMR dengan autisme tanpa bukti ilmiah kuat. Dampak publikasi itu—ditambah misinformasi kelompok antivaksin di negara berpendapatan tinggi—menyebabkan penurunan cakupan vaksinasi di bawah ambang perlindungan komunitas dan memicu kembali meningkatnya kasus campak di Inggris dan Wales, serta di beberapa bagian AS dan Kanada.
Pada 2010, British General Medical Council menyatakan penulis utama studi tersebut melakukan pelanggaran etik. Makalahnya ditarik dari jurnal The Lancet, dan penulisnya dilarang praktik kedokteran.
Dampak Global Vaksinasi dan Tren Terkini
Antara tahun 2000–2023, vaksinasi campak mencegah lebih dari 60 juta kematian di seluruh dunia. Namun, meskipun vaksin aman dan efektif secara biaya tersedia, kematian global akibat campak sempat meningkat sebelum pandemi COVID-19. Pada 2019, tercatat lebih dari 207.000 kematian akibat campak secara global, bersamaan dengan jumlah laporan kasus tertinggi dalam 23 tahun.
Tidak ada vaksin yang lebih efektif dalam mengurangi beban penyakit dan kematian anak dibanding vaksin yang mengandung komponen campak. Ketika para peneliti baru-baru ini memodelkan dampak kesehatan masyarakat global dan regional dari 50 tahun vaksinasi melalui Expanded Programme on Immunization, mereka memperkirakan bahwa sejak 1974, vaksinasi telah mencegah 154 juta kematian, dengan kontribusi terbesar—93,7 juta nyawa terselamatkan—berasal dari vaksinasi campak.
Pasca Pandemi COVID-19, Cakupan Vaksinasi Mandek
Meskipun proporsi anak yang menerima dua dosis vaksin yang mengandung komponen campak meningkat secara signifikan sejak tahun 2000, tetapi tingkat imunisasi dalam beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi. WHO merekomendasikan dua dosis vaksin agar anak terlindungi sepenuhnya dari campak, tetapi pada tahun 2023, hanya 74 persen anak di seluruh dunia yang menerima kedua dosis tersebut (66 persen di negara-negara berpendapatan rendah).
Untuk membantu membalikkan tren ini, pada Mei 2024 Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (Gavi) meluncurkan kampanye imunisasi kejar terbesar sepanjang sejarahnya, dengan target menjangkau hingga 100 juta anak di 20 negara Afrika.
Kekebalan Kelompok dan Pentingnya Vaksinasi
Virus campak adalah salah satu agen infeksi paling menular di planet ini: satu orang yang terkena campak dapat menularkan hingga 18 orang lainnya. Artinya, porsi yang sangat besar dari populasi perlu divaksinasi agar tercapai kekebalan kelompok—kondisi di mana bahkan mereka yang tidak bisa divaksinasi atau tidak merespons vaksin secara optimal tetap terlindungi karena virus tidak lagi menemukan orang baru untuk ditulari. Setelah kekebalan kelompok terbentuk dan dipertahankan selama beberapa waktu, virus akan perlahan menghilang.
Dalam kasus campak, 95 persen populasi perlu diimunisasi untuk mencapai kekebalan kelompok. Di bawah ambang ini, wabah dan kematian yang sebenarnya dapat dicegah akan terus terjadi. Itulah sebabnya imunisasi rutin dan kampanye imunisasi kejar sangat penting.
Posting Komentar