Tools:
Powered by AdinJava

Indonesia Dapat Teguran Arab Saudi, Kesehatan Jamaah Haji Disorot sebagai Penyumbang Kematian

Table of Contents
Featured Image

Kepala Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BP Haji), Mochamad Irfan Yusuf, mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia mendapat peringatan keras dari pihak Arab Saudi. Peringatan ini dilayangkan karena tingginya angka kematian jamaah haji asal Indonesia pada musim haji 2025.

Dalam acara Evaluasi Nasional Kesehatan Haji yang diadakan bersama Perhimpunan Dokter Haji Indonesia (Perdokhi) dan BPHI di Jakarta, Irfan menjelaskan pertemuan dengan pihak pemerintah Arab Saudi. Menurutnya, seminggu sebelum Arafah, mereka sudah diberi peringatan. Saat itu, jumlah jamaah haji Indonesia yang meninggal mencapai 28 atau 29 orang, padahal puncak haji belum dimulai. Bahkan sebelum tiba di Tanah Suci, enam orang jamaah kita wafat di pesawat.

Situasi memprihatinkan terus berlanjut. Sehari menjelang wukuf di Arafah, pemerintah Arab Saudi kembali bertemu dengan pihak Indonesia. Pada saat itu, jumlah jamaah haji asal Indonesia yang meninggal sudah mencapai hampir 200 orang. Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap Indonesia, karena separuh dari total kematian jamaah haji berasal dari negara tersebut.

Pembahasan juga terus berlangsung setelah puncak haji. Dalam pertemuan di Jeddah, isu kematian jamaah kembali disinggung. Bahkan dalam pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), masalah ini menjadi topik utama. Standar yang ditolerir oleh pemerintah Arab Saudi adalah 30 kematian per 100.000 jamaah. Dengan kuota 200.000 jamaah, seharusnya maksimal sekitar 60. Namun, Indonesia mencapai 470-an, delapan kali lipat dari angka toleransi.

Tamparan Keras bagi Penyelenggaraan Haji Indonesia

Irfan menilai teguran dari Arab Saudi merupakan tamparan keras bagi penyelenggaraan haji Indonesia. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya perbaikan serius pada standar kesehatan jamaah, termasuk penerapan pemeriksaan kesehatan lebih ketat dan lebih awal sebelum keberangkatan.

Menurutnya, hal ini memiliki efek politis karena banyak calon jamaah yang sudah lama menunggu bisa batal berangkat karena alasan kesehatan. Namun, lebih penting lagi adalah keselamatan jamaah, menjaga nama baik Indonesia di mata dunia, serta menghormati tuan rumah Saudi.

Irfan mencontohkan masih adanya jamaah dengan kondisi medis berat yang diberangkatkan, seperti pasien cuci darah rutin atau penderita diabetes parah. Hal ini menjadi sorotan tajam pemerintah Saudi. Untuk menangani masalah ini, BP Haji mulai memperluas kerja sama dengan Perdokhi dan Kementerian Kesehatan untuk memperketat standar pemeriksaan kesehatan calon jamaah.

Langkah Tindak Lanjut untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan Jamaah

Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyoroti tingginya angka kematian jamaah haji asal Indonesia pada musim haji 2025. Menurutnya, sebanyak 447 jamaah wafat, menjadikan Indonesia sebagai penyumbang signifikan dalam total kematian haji tahun ini.

Menurut Dahnil, kondisi tersebut menunjukkan perlunya mitigasi serius melalui pemeriksaan kesehatan yang lebih ketat di tingkat awal, bahkan sejak di puskesmas dan rumah sakit daerah. Dia mendorong adanya roadmap pemeriksaan kesehatan yang lebih sistematis serta pengembangan kurikulum Manasik Kesehatan khusus bagi calon jamaah.

“Cek kesehatan sebaiknya dilakukan setahun sebelum keberangkatan. Dari situ bisa dimulai manasik kesehatan, supaya jamaah tahu bagaimana menjaga kondisi tubuhnya hingga tiba waktunya berangkat,” ujar Dahnil.

Transformasi Kebijakan Kesehatan Haji

Ketua Pembina PP Perhimpunan Dokter Haji Indonesia (Perdokhi), Muchtaruddin Mansyur, menegaskan perlunya transformasi kebijakan istithaah kesehatan haji yang lebih terukur dan berbasis standar ilmiah. Menurutnya, istithaah kesehatan harus dipahami sebagai kemampuan fisik, mental, dan spiritual jamaah untuk melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji.

Penilaian, kata dia, perlu dilakukan secara profesional dengan mengacu pada standar WHO dan International Classification of Functioning, Disability and Health. “Bukan sekadar diskriminasi siapa yang boleh atau tidak berangkat, tapi pembinaan. Satu orang jamaah adalah warga kita yang harus kita fasilitasi agar dapat beribadah dengan baik, bukan hanya sekadar menghitung jumlah yang wafat,” ujarnya.

Posting Komentar