Tools:
Powered by AdinJava

CISDI Tekankan Pentingnya Cukai Minuman Manis Kemasan

Table of Contents
Featured Image

Urgensi Penerapan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan

CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) menegaskan pentingnya penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Penekanan ini merupakan respons terhadap rencana pemerintah yang tidak akan mengenakan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada tahun 2026. Olivia Herlinda, Chief Research & Policy CISDI, menyatakan bahwa cukai MBDK sebaiknya tidak dilihat sebagai pajak biasa, melainkan sebagai instrumen fiskal berbasis kesehatan publik yang telah terbukti efektif di 99 negara.

“Cukai MBDK bukan hanya tentang penerimaan negara. Ini adalah instrumen kesehatan publik yang didasarkan pada bukti dan data,” ujar Olivia dalam FGD dan media roundtable bertema “Penguatan Bukti Efektivitas Penerapan Cukai MBDK dari Hasil Studi Elastisitas Harga” di Jakarta, Rabu 10 September 2025.

Tujuan utama dari penerapan cukai MBDK adalah untuk mengendalikan konsumsi produk yang menjadi faktor risiko obesitas, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya. Oleh karena itu, cukai MBDK memiliki fungsi yang berbeda dibanding pajak konvensional yang lebih berorientasi pada pendapatan negara.

Indonesia saat ini menduduki peringkat kelima dunia dalam jumlah penderita diabetes dewasa, dengan 20,4 juta orang menurut International Diabetes Federation, 2024. Dalam studi CISDI 2024, keterlambatan penerapan cukai MBDK berpotensi memicu 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut pada 2034 jika tidak ada intervensi segera.

Salsabil Rifqi Qatrunnada, Quantitative Research Officer CISDI, menyampaikan empat temuan utama dalam ringkasan kebijakan CISDI 2025. Salah satunya adalah kenaikan harga akan menurunkan permintaan produk MBDK dan mendorong konsumen beralih ke alternatif lain. “Cukai MBDK tidak hanya menekan konsumsi melalui mekanisme harga, tetapi juga mendelegitimasi MBDK sebagai produk sehari-hari yang merugikan kesehatan,” katanya.

Data SUSENAS dan data kependudukan 2024 menunjukkan bahwa 63,7 juta atau sekitar 68,1 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi setidaknya satu jenis MBDK setiap minggu. Kopi instan menjadi jenis MBDK paling populer. Fakta ini menunjukkan bahwa MBDK telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk, meskipun berdampak buruk pada kesehatan.

Dampak kesehatan dari konsumsi MBDK sangat mengkhawatirkan karena terbukti meningkatkan berat badan dan risiko obesitas. Kondisi ini secara langsung meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, kardiovaskular, dan kanker.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyoroti pentingnya pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Anas Ma'ruf, Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan, BKPK Kemenkes, menyampaikan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menunjukkan peningkatan tren diabetes pada penduduk berusia 15 tahun ke atas dari 2% menjadi 2,2%. Selain itu, survei juga menemukan kesenjangan signifikan sebesar 9,5% antara diagnosis dokter dan pemeriksaan kadar gula darah, yang menunjukkan banyaknya kasus diabetes yang tidak terdeteksi.

Muhammad Zulfiqar Firdaus, Health Economics Research Associate CISDI, menilai bahwa penundaan cukai MBDK akan memperburuk krisis kesehatan masyarakat dan menambah beban ekonomi negara. Ia berharap cukai MBDK dapat segera diterapkan minimal pada 2026. “Dengan bukti ilmiah yang kuat, praktik baik internasional, dan komitmen lintas sektor, CISDI berharap pemerintah segera menerapkan cukai MBDK paling lambat tahun 2026 sebagai investasi kesehatan jangka panjang,” ujarnya.

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk beralih ke minuman yang lebih sehat, seperti air mineral dan minuman tanpa pemanis. Studi CISDI memperkirakan bahwa penerapan cukai MBDK pada 2024 saja dapat mencegah 3,1 juta kasus diabetes baru dan lebih dari 455 ribu kematian dalam sepuluh tahun ke depan. Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi beban biaya BPJS Kesehatan sebesar Rp 24,9 triliun dan kerugian produktivitas sebesar Rp 15,7 triliun.

Posting Komentar