Tools:
Powered by AdinJava

Anak Muda Kini Enggan Lembur, Tanda Malas atau Kesadaran Kesehatan Mental?

Table of Contents
Featured Image

Dalam dunia kerja yang semakin dinamis, muncul sebuah istilah yang kini menjadi topik hangat di kalangan pekerja muda: quiet quitting. Istilah ini menggambarkan situasi di mana seorang karyawan hanya melakukan tugas minimal tanpa berusaha melampaui ekspektasi atau mengambil inisiatif tambahan. Meskipun mereka tetap hadir di tempat kerja dan menerima gaji, peran mereka terasa jauh dari keaktifan yang biasanya diharapkan.

Apa Itu Quiet Quitting dan Mengapa Fenomena Ini Menarik Perhatian

Quiet quitting bukanlah pengunduran diri secara langsung, melainkan bentuk disengagement yang terlihat jelas. Karyawan ini tidak lagi terlibat sepenuhnya dalam lingkungan kerja, meski masih menjalankan tanggung jawab dasar mereka. Fenomena ini sering dipicu oleh rasa tidak dihargai, kejenuhan, atau kurangnya peluang untuk berkembang. Banyak ahli menyebutnya sebagai respons terhadap tekanan kerja yang berlebihan dan budaya hustle culture yang tidak sehat.

Munculnya Fenomena Quiet Quitting

Fenomena ini mulai menyebar luas setelah munculnya tren di media sosial seperti TikTok. Dunia digital mempercepat penyebaran ide-ide baru, termasuk konsep tentang keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Generasi muda kini lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan waktu untuk diri sendiri. Mereka menolak gagasan bahwa kerja keras tanpa henti adalah satu-satunya cara untuk sukses.

Setelah pandemi, banyak orang merasa tidak aman secara ekonomi dan khawatir akan ketidakstabilan. Hal ini membuat mereka lebih waspada terhadap risiko burnout dan memilih untuk menjaga batasan pribadi. Banyak pekerja muda juga mulai menolak ambisi karier yang selama ini dianggap wajib, dan beralih pada prioritas yang lebih realistis.

Apakah Quiet Quitting Tanda Kemalasan?

Secara sekilas, seseorang yang melakukan quiet quitting bisa terlihat seperti malas. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar. Menurut beberapa sumber, quiet quitting bisa menjadi strategi untuk bertahan hidup dalam lingkungan kerja yang melelahkan. Bukan berarti karyawan tersebut tidak ingin bekerja, tapi mereka memilih untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

Filosofi “kerja bukan segalanya” kini menjadi gerakan yang diterima oleh banyak generasi sekarang. Mereka menolak sistem kerja overwork dan memilih untuk bekerja sesuai dengan job description tanpa memaksakan diri. Ini bukan sekadar sikap individual, tapi juga refleksi atas masalah struktural di dalam perusahaan. Jika karyawan merasa dihargai dan memiliki peran yang jelas, mereka cenderung lebih terlibat dan bersedia berkontribusi.

Dampak bagi Perusahaan

Fenomena ini bisa memberikan dampak jangka panjang bagi perusahaan. Disengagement yang tinggi dapat mengurangi produktivitas dan mengganggu dinamika tim. Selain itu, jika tidak ditangani dengan baik, hal ini bisa melemahkan budaya kerja secara keseluruhan. Manajer perlu introspeksi apakah masalah ini berasal dari karyawan atau dari kemampuan kepemimpinan mereka sendiri.

Perusahaan harus mulai melihat quiet quitting bukan sebagai tanda kegagalan individu, tapi sebagai sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki. Menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan inspiratif bisa menjadi langkah bijak untuk mengurangi disengagement. Jika karyawan merasa dihargai dan memiliki ruang untuk berkembang, mereka akan lebih termotivasi untuk berkontribusi secara aktif, bukan diam-diam menyerah.

Kesimpulan

Quiet quitting adalah fenomena yang mencerminkan perubahan paradigma dalam cara manusia memandang pekerjaan. Ini bukan sekadar tren, tapi juga respons terhadap tekanan kerja yang berlebihan dan kebutuhan akan keseimbangan hidup. Bagi perusahaan, ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk merevaluasi sistem manajemen dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Dengan memahami dan menghargai kebutuhan karyawan, perusahaan bisa membangun hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

Posting Komentar