Tools:
Powered by AdinJava

Anak 3 Tahun Ungguli AI dalam Kecerdasan Visual, Membuat Peneliti Terkejut

Table of Contents
Featured Image

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI) terus berkembang pesat dan kini semakin meresap dalam kehidupan manusia. Teknologi ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kendaraan hingga hiburan digital yang interaktif. Perkembangan AI membuat teknologi tampak mampu menyaingi kemampuan manusia di berbagai bidang. Hal ini menunjukkan pesatnya kemajuan kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, di balik kecanggihannya, AI ternyata masih memiliki keterbatasan yang mencolok. Ada aspek tertentu dalam kecerdasan manusia yang masih sulit ditiru sepenuhnya oleh teknologi. Fenomena ini menarik perhatian para peneliti untuk menggali lebih dalam perbedaan antara otak manusia dan sistem buatan. Mereka ingin mengetahui sejauh mana teknologi mampu mendekati kecerdasan alami yang dimiliki manusia.

Dalam sebuah penelitian, Vlad Ayzenberg, asisten profesor Psikologi dan Neurosains dari Temple University, mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Studi ini memberikan gambaran mengenai cara kerja sistem manusia dibandingkan dengan kecerdasan AI. Hasil penelitian mengungkap bahwa otak manusia lebih unggul dibandingkan teknologi AI. Kemampuan persepsi visual anak-anak jauh lebih efisien dalam mengolah informasi dibandingkan teknologi AI.

"Temuan kami menunjukkan bahwa sistem visual manusia jauh lebih efisien dalam mengolah data dibandingkan AI saat ini, dan kemampuan perseptual anak-anak pun sudah sangat tangguh," ujar Ayzenberg. Dalam penelitian tersebut, Ayzenberg bersama tim dari Universitas Emory membandingkan kemampuan persepsi visual anak prasekolah dengan model AI tercanggih. Hasilnya, anak-anak prasekolah mampu mengungguli model penglihatan komputer terbaik yang ada saat ini.

Satu-satunya model yang berhasil melampaui kinerja anak-anak adalah model dengan pengalaman visual yang jauh lebih besar dari kapasitas manusia. Studi berjudul Fast and Robust Visual Object Recognition in Young Children ini dipublikasikan pada 2 Juli dalam jurnal Science Advances. Menariknya, anak-anak berusia 3 hingga 5 tahun diminta mengenali objek dari gambar yang hanya ditampilkan selama 100 milidetik. Tantangan itu dibuat semakin sulit dengan gangguan berupa kebisingan dan faktor pengalih perhatian lain.

"Kami awalnya mengira tugas ini akan sangat sulit bagi anak-anak karena memang dirancang untuk orang dewasa," kata Ayzenberg. Wawasan anak umur 3 tahun menjadi tolak ukur teknologi AI. Menurut Ayzenberg, penelitian ini membuka jalan baru dalam pemahaman hubungan antara manusia dan teknologi. Ia menekankan bahwa wawasan kognitif serta neurologis dari anak-anak dapat membantu menyempurnakan model AI yang ada saat ini.

Sebaliknya, model AI juga bisa dipakai untuk memperkaya pemahaman tentang cara kerja pikiran manusia. Dengan begitu, penelitian lintas bidang ini memberi manfaat ganda, baik untuk ilmu pengetahuan maupun pengembangan teknologi. "Model AI memang berguna, tapi mereka sering membuat kesalahan yang tidak akan dilakukan manusia," ujar Ayzenberg. "Mereka juga membutuhkan lebih banyak pelatihan dan energi dibanding kita."

Misalnya, melatih model bahasa besar seperti ChatGPT memiliki jejak karbon sekitar 17 kali lebih besar daripada jejak karbon seorang manusia dalam setahun. Jika kita bisa memahami bagaimana anak-anak kecil mampu mengenali objek secara visual, kita bisa membuat model lebih efisien. Ayzenberg menambahkan studi ini sekaligus memberi tolok ukur baru bagi para pengembang AI. Anak-anak prasekolah dijadikan acuan karena kemampuan visual mereka terbukti tangguh meski dengan pengalaman terbatas.

"Studi ini memberikan tolok ukur bagi model AI: Beginilah kemampuan anak prasekolah. Bisakah AI mencapai kemampuan anak usia 3 tahun dengan data yang lebih sedikit dibanding sebelumnya?" tambah Ayzenberg.

Laboratorium Baru untuk Memahami Otak Anak

Ayzenberg kini membuka Vision Learning and Development Lab. Laboratorium ini hadir sebagai pusat penelitian baru di bidang psikologi dan neurosains. Di tempat ini, peneliti akan memanfaatkan kombinasi teknik perilaku, teknik yang menghasilkan gambar otak tanpa membutuhkan pembedahan (neuroimaging), dan komputasi. Tujuannya untuk memahami bagaimana otak manusia terorganisasi sejak lahir hingga masa awal anak-anak.

Dengan pendekatan tersebut, mereka berharap bisa menemukan dasar dari perkembangan kognitif yang sangat cepat pada anak-anak. Hasilnya nanti bisa menjadi inspirasi untuk membuat AI yang lebih menyerupai manusia. "Kami ingin memahami proses saraf apa yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan canggih ini dengan cepat meskipun tanpa banyak pengalaman," ujarnya.

Posting Komentar