Tools:
Powered by AdinJava

Warga Gianyar Kelola Sampah Mandiri Lewat “Teba Modern” Berbasis Kearifan Lokal

Table of Contents

AdinJava – Resah dengan timbunan sampah organik yang menumpuk di desanya, I Wayan Balik Mustiana, Ketua Badan Pengelola Sampah (BPS) Desa Adat Cemenggaon, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, menggagas sistem pengelolaan sampah mandiri berbasis kearifan lokal bernama teba modern.

Menurut Wayan, persoalan utama sampah muncul karena tidak adanya pemilahan sejak awal. Berbagai jenis sampah dicampur begitu saja hingga nilainya hilang dan akhirnya hanya menjadi residu.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024 mencatat timbulan sampah di Bali mencapai 1,16 juta ton per tahun, salah satu yang tertinggi di Indonesia. Rumah tangga menyumbang 76,15% di antaranya. Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan 366 ribu ton per tahun, disusul Gianyar sebesar 205 ribu ton.

Lahirnya Teba Modern

Konsep teba modern mulai digagas sejak 2013. Tiga tahun kemudian, Wayan bersama warga merintis Pesan Pede (Pengelolaan Sampah Mandiri Pedesaan) lewat Forum Peduli Lingkungan yang berdiri sejak 2011.

“Awalnya belum diterima. Baru pada 2019 ada kesepakatan desa soal teba modern. Tahun 2020 kami dapat pendanaan dan mulai April 2020, warga Cemenggaon sudah punya teba masing-masing,” ujar Wayan, Minggu (10/8/2025).

Teba modern dibangun di lahan kosong dengan diameter 80 cm dan kedalaman 2 meter. Lubang ini ditutup beton, diberi jalur kecil untuk memasukkan sampah, bahkan bisa difungsikan sebagai meja bila ditambah buis beton.

Nama “teba” sendiri berasal dari istilah lokal Bali, yaitu halaman belakang rumah yang dulunya dipakai untuk kandang ternak, kebun, sekaligus tempat membuang sampah organik. Filosofinya, ada siklus “dapur ke teba, teba ke dapur” — sampah organik kembali menjadi kompos yang bisa dipakai untuk tanaman pangan.

Satu teba mampu menampung sampah rumah tangga hingga 10–12 bulan, tergantung luas rumah. Idealnya setiap rumah memiliki dua teba agar pengolahan berjalan bergantian. Setelah penuh, sampah di dalamnya akan berubah menjadi kompos yang bisa dipanen.

Peran Desa Adat dan Warga

Wayan mengakui penerapan teba modern butuh waktu panjang. Desa adat berperan penting dalam menginternalisasi sistem ini melalui perarem (aturan desa hasil musyawarah).

Selain itu, desa juga memfasilitasi empat hal: dua tong sampah di tiap rumah, dua unit teba modern, bank sampah, dan mekanisme pengelolaan residu. Kini Desa Adat Cemenggaon sudah memiliki 790 unit teba modern yang tersebar di 350 KK, tempat suci, hingga sekolah.

Data Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mencatat tiap rumah tangga di desa ini menghasilkan rata-rata 4 kg sampah per hari. Artinya, sekitar 1,4 ton sampah dihasilkan setiap hari dari seluruh warga.

Dengan Pesan Pede, sekitar 60–70% sampah selesai diolah di teba, 20% masuk bank sampah, dan hanya 10% residu yang dikirim ke TPA.

“Kalau dulu 48 ton per bulan dibuang ke TPA, sekarang tinggal 10 persen saja,” kata Wayan.

Kebijakan Pemerintah

Upaya warga Cemenggaon ini sejalan dengan kebijakan Pemprov Bali. Mulai 1 Agustus 2025, TPA Suwung hanya menerima sampah anorganik dan residu. Sampah organik wajib dikelola dari sumbernya.

TPA seluas 32,4 hektare itu rencananya akan ditutup permanen akhir Desember 2025, sesuai instruksi Kementerian Lingkungan Hidup yang melarang sistem open dumping.

Sebagai gantinya, pemerintah mendorong penguatan TPS3R dan TPST di berbagai daerah serta mempercepat program Gerakan Bali Bersih Sampah (GBBS).

Tantangan di Lapangan

Meski mendukung, aktivis lingkungan I Made Agus Jaya Wardana (Degus) dari komunitas Malu Dong mengingatkan bahwa pengelolaan sampah masih menghadapi kendala.

“Bank sampah belum merata, banyak masyarakat juga belum teredukasi. Tanpa fasilitas dan pengawasan yang jelas, pemilahan di tingkat rumah tangga sulit berjalan,” ujarnya, Jumat (8/8/2025).

Degus menekankan perlunya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi pengolahan sampah anorganik dan residu, agar beban tidak hanya jatuh pada warga.***

Posting Komentar