Perang Dagang AS–China Ditunda, Industri Pasifik Tetap Diliputi Kecemasan
![]() |
Baterai lithium iron phosphate./Bloomberg-Bing Guan |
AdinJava, JAKARTA — Para pelaku usaha di kawasan Pasifik masih dihantui rasa cemas meskipun kenaikan tarif baru dalam babak perang dagang Amerika Serikat–China resmi ditunda hingga awal November 2025.
Kecemasan ini muncul karena kesadaran bahwa eksportir China bisa terpukul hebat bila tarif balasan yang digagas Presiden AS Donald Trump benar-benar diberlakukan. Tak hanya itu, para pengamat juga memperingatkan potensi ancaman serius bagi industri teknologi iklim di Negeri Paman Sam.
Menurut Antoine Vagneur-Jones, Kepala Perdagangan dan Rantai Pasok di BloombergNEF, sektor pemasangan dan pengembangan baterai di AS akan menjadi yang paling merasakan dampaknya. Pasalnya, China mendominasi pasokan baterai lithium-ion dan material utamanya ke AS, sementara jalur rantai pasok tak bisa begitu saja diganti dalam waktu singkat.
Baterai Skala Utilitas
Data BNEF menunjukkan, dari setiap lima baterai lithium-ion yang diimpor AS sepanjang lima bulan pertama tahun ini, tiga di antaranya berasal dari China. Persentase itu bahkan lebih besar untuk baterai lithium iron phosphate yang banyak digunakan perusahaan utilitas.
“Pasar penyimpanan energi di AS jelas akan terdampak,” ujar Tom Moerenhout, profesor Columbia University yang fokus meneliti kebijakan, ekonomi, dan teknologi iklim.
Ia menambahkan, tarif baru berisiko memperlambat transisi energi, karena baterai berperan penting menjaga kestabilan pasokan energi terbarukan yang sifatnya tidak konstan.
Saat ini, tarif untuk baterai utilitas buatan China sudah mencapai 41%. Korea Selatan sempat disebut sebagai alternatif, namun harga baterainya lebih tinggi dibandingkan produk China. Apalagi, Trump juga mengenakan tarif 15% atas impor dari Korea Selatan, membuat biaya bagi importir AS semakin melonjak.
Meski AS mulai membangun rantai pasok baterai domestik, Vagneur-Jones menilai proses tersebut butuh waktu panjang. Kemampuan produsen lokal pun makin rentan karena tekanan perang dagang dengan China.
Sebagai catatan, perusahaan besar seperti LG Energy Solution dan Fluence Energy telah menggelontorkan investasi untuk memperluas produksi, namun tetap bergantung pada komponen impor — khususnya katoda dan anoda yang sebagian besar masih dipasok dari China.
Mineral Tanah Jarang
China juga memegang kendali besar atas rantai pasok teknologi bersih lain: mineral tanah jarang (rare earth). Negeri Tirai Bambu menambang mineral ini lebih banyak daripada negara manapun dan menguasai sekitar 90% kapasitas pemurnian global.
Meski pemerintahan Trump tidak memberlakukan tarif untuk sebagian besar impor rare earth, Beijing justru melakukan pembatasan ekspor atas sejumlah material strategis sejak April sebagai respons terhadap tarif resiprokal AS.
Kondisi ini langsung memukul industri di AS. Misalnya, Ford Motor Co. sempat menghentikan sementara salah satu pabriknya pada Mei karena kekurangan pasokan magnet tanah jarang yang digunakan dalam kursi, sistem audio, hingga wiper.
Ekspor baru normal kembali pada 11 Juni setelah AS–China menyepakati kerangka perdagangan baru. Namun, masih belum jelas apakah pembatasan tersebut akan kembali diberlakukan jika negosiasi berikutnya gagal.
“Mineral tanah jarang menjadi kartu tawar antara China dan AS,” ujar Grant Hauber, pakar rantai pasok di Institute for Energy Economics and Financial Analysis. “Karena arah kebijakan yang sangat labil, semua kemungkinan bisa terjadi.”
Jika Beijing kembali menjadikan rare earth sebagai senjata dagang, banyak produsen teknologi iklim di AS akan terpukul. Salah satunya magnet neodymium yang sangat vital untuk motor kendaraan listrik dan turbin angin.
Dampak Jangka Panjang
Guncangan akibat perang tarif muncul di saat bersamaan dengan kebijakan Trump yang mencabut dukungan pemerintah untuk berbagai teknologi ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik dan energi angin. Imbasnya, pelaku industri energi terbarukan terkejut hingga banyak proyek dibatalkan.
Berdasarkan riset E2, sepanjang semester pertama 2025, proyek-proyek hijau dengan nilai total US$22 miliar di AS dibatalkan, ditutup, atau dikurangi. Angka itu dicatat sebelum Trump meneken aturan pajak baru yang mencabut insentif untuk teknologi bersih dan sebelum tarif tambahan diberlakukan.
Trump sendiri telah meneken perpanjangan gencatan dagang dengan China selama 90 hari. Kesepakatan ini mencakup pengurangan sebagian tarif serta pelonggaran pembatasan ekspor magnet tanah jarang dan teknologi tertentu, yang sejatinya berakhir pada Selasa (12/8/2025) waktu New York.
Namun, para pakar tetap mengingatkan bahwa negosiasi yang berlarut-larut berpotensi menghambat langkah AS dalam mendorong pengembangan teknologi iklim.
“Aturan emas dalam bisnis adalah stabilitas. Ketika yang terjadi justru ketidakpastian dan perubahan arah kebijakan, banyak pelaku usaha akhirnya memilih untuk menunggu,” pungkas Hauber.
Posting Komentar