Performatif Maskulin: Bagaimana Laki-Laki Menampilkan Identitas Gender di Era Modern
AdinJava - Fenomena performative male menunjukkan bagaimana laki-laki mengekspresikan maskulinitas sebagai pertunjukan sosial. Artikel ini membahas dampak psikologis, relasi gender, dan pergeseran menuju maskulinitas inklusif di era modern.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah performative male semakin sering dibahas, baik di ranah akademis maupun ruang publik. Konsep ini merujuk pada perilaku laki-laki yang menampilkan identitas maskulin tertentu bukan semata untuk kebutuhan pribadi, tetapi sebagai pertunjukan sosial untuk memengaruhi persepsi orang lain.
Secara sederhana, maskulinitas tidak hanya lahir dari diri sendiri, tetapi juga dibentuk melalui cara laki-laki ingin dilihat oleh lingkungan sekitarnya. Istilah ini berakar pada teori performativitas yang diperkenalkan filsuf Judith Butler pada 1990-an.
Butler menjelaskan bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang statis atau alami, melainkan hasil pengulangan tindakan dan perilaku tertentu yang kemudian dianggap “normal”.
Bagi laki-laki, performativitas muncul lewat gestur, gaya bicara, hingga pilihan busana yang menegaskan kejantanan. Dalam banyak masyarakat, standar maskulinitas dikaitkan dengan kekuatan fisik, keberanian, dominasi, dan ketegasan.
Akibatnya, pria kerap merasa perlu menampilkan diri sesuai ekspektasi tersebut agar diakui sebagai “laki-laki sejati”. Contohnya, enggan menunjukkan sisi rentan atau emosional karena khawatir dianggap lemah.
Tekanan sosial ini juga tampak di era digital. Media sosial menjadi panggung besar untuk membangun citra maskulin: mobil mewah, tubuh berotot, atau sikap berani diunggah demi validasi sosial. Sering kali, apa yang ditampilkan bukan sepenuhnya realitas, melainkan strategi untuk memperoleh pengakuan.
Meski tidak selalu negatif, performative male bisa berdampak psikologis. Tekanan untuk memenuhi standar maskulin membuat banyak pria terjebak dalam lingkaran ekspektasi, yang berpotensi menimbulkan stres, kecemasan, hingga depresi.
Fenomena ini berkaitan erat dengan hegemonic masculinity, bentuk maskulinitas dominan yang menempatkan laki-laki sebagai figur kuat, rasional, dan pengambil keputusan utama, sementara sifat lembut atau emosional dianggap kurang maskulin.
Implikasinya juga terlihat dalam relasi gender. Pria yang merasa harus terus menunjukkan dominasinya bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam hubungan, baik di rumah maupun di dunia kerja. Pemimpin di kantor misalnya, kerap dinilai harus tampil maskulin tegas, sehingga ruang bagi gaya kepemimpinan kolaboratif dan empatik tersisihkan.
Namun, wacana maskulinitas mulai bergeser. Generasi muda, terutama Gen Z, lebih terbuka mengekspresikan sisi emosional dan rentan, melepaskan tekanan untuk selalu tampil “gagah”. Tren ini terlihat dari meningkatnya kampanye kesehatan mental untuk pria, kesadaran toxic masculinity, dan figur publik yang berbagi pengalaman kerentanan.
Akhirnya, performative male menunjukkan bahwa identitas gender adalah cair dan dinamis. Laki-laki tidak hanya menjadi diri mereka sendiri, tetapi juga memainkan peran sesuai skenario sosial. Pertanyaannya, apakah mereka akan terus menyesuaikan diri dengan naskah lama yang menuntut ketangguhan tanpa cela, atau menulis ulang definisi maskulinitas yang lebih manusiawi?
Kesadaran akan fenomena performative male menjadi langkah awal untuk membongkar konstruksi gender yang kaku dan membuka ruang bagi maskulinitas lebih beragam dan inklusif.

Posting Komentar