Tools:
Powered by AdinJava

Warga Indonesia Masih Takut pada AI, Studi Ini Jelaskan Alasannya

Table of Contents

AdinJava, Jakarta- Penelitian yang dipimpin oleh Cambridge Industrial Innovation Policy (CIIP) menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih merasa cemas terhadap kehadiran kecerdasan tiruan atauAI. Kekhawatiran serupa juga ditemui di Malaysia dan Kamboja. Temuan ini bertolak belakang dengan Vietnam, Thailand, dan Singapura yang lebih percaya pada manfaat AI.

Dalam survei terbaru, hanya 33 persen penduduk Asia Tenggara yang menganggap bahwa kecerdasan buatan memberikan manfaat bagi masyarakat, dibandingkan dengan sebaliknya. Angka ini lebih rendah dari rata-rata dunia yang mencapai 39 persen.

Kami juga memperhatikan sisi AI dari sudut pandang perdagangan digital, kebijakanindustri, kebijakan ketenagakerjaan, dan topik-topik lain," kata Carlos López-Gómez, peneliti dari Cambridge Industrial Innovation Policy, IfM Engage, University of Cambridge, saat diwawancaraiTempodi kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Jakarta, Selasa, 15 Juli 2025.

Terdapat sebanyak 121 negara yang diwawancarai, termasuk yang berada di kawasan Asia Tenggara. Beberapa pertanyaan utama muncul dalam penelitian tersebut, antara lain "apa yang membuat Anda merasa nyaman atau tidak nyaman?”; Bagaimana pendapat Anda mengenai kecerdasan buatan?"; "Apakah Anda merasa AI aman atau tidak?; serta apa saja kekhawatiran yang Anda alami dalam kehidupan sehari-hari?.

Laporan CIIP ini juga didasarkan pada penelitian yang diterbitkan oleh Lloyd’s Register Foundation pada tahun 2021, lembaga yang kemudian mendanai survei terbaru. Terdapat pula dukungan dari Organisasi Pengembangan Industri PBB atauOrganisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO). Sumber data lainnya adalah World Risk Poll yang juga dirilis oleh Lloyd’s Register, yang mencakup pandangan risiko dari sekitar 120 ribu peserta di berbagai negara.

Mengutip ringkasan berjudul Pengembangan Kebijakan untuk Masa Depan yang Lebih Kuat: Menggunakan World Risk Poll untuk Membentuk Kebijakan Digital, Tenaga Kerja, dan Industri yang Lebih Efisiendari CIIP dan UNIDO, perempuan di Asia Tenggara cenderung kurang percaya diri terhadap AI dibanding laki-laki, khususnya di daerah yang memiliki tingkat akses digital yang rendah.

Berdasarkan data global, 42 persen laki-laki dan 35 persen perempuan menganggap bahwa AI akan lebih banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dalam 20 tahun mendatang. Namun, tingkat keyakinan ini lebih rendah di Asia Tenggara. "Hanya 36 persen laki-laki dan 30 persen perempuan yang percaya pada manfaat AI," demikian isi ringkasan eksekutifnya.

Temuan ini menyatakan bahwa negara dengan tingkat inklusi digital yang rendah seperti Kamboja mengalami kesenjangan gender terbesar dalam hal optimisme terhadap AI. Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa tata kelola AI tidak hanya perlu mempertimbangkan risiko teknis, tetapi juga hambatan struktural yang menghalangi partisipasi dan representasi.

Laporan terbaru CIIP juga menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen peserta di Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam merasa cemas mengenai pencurian informasi pribadi. Persentase peserta dari tiga negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bahkan sama dalam hal kekhawatiran penggunaan data pribadi yang tidak sah oleh pemerintah.

"Kekhawatiran ini semakin memburuk akibat meningkatnya ancaman siber, seperti kebocoran data dan penipuan, yang mengurangi kepercayaan terhadap transaksi digital serta menghambat perkembangan perdagangan online," demikian isi ringkasan laporan tersebut.

Perwakilan Kantor Perwakilan Regional UNIDO di Indonesia, Filipina, dan Timor Leste, Marco Kamiya, menyatakan bahwa data pribadi dan privasi adalah isu yang sangat penting dan harus dilindungi oleh hukum. Aspek ini juga perlu dijaga dengan infrastruktur teknologi informasi yang memadai, seperti komputasi awan ataucloud, e-commerce, data perbankan, dan catatan medis, yang sebelumnya rentan terhadap serangan peretas.

Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara inovasi dan regulasi. Pengawasan yang terlalu ketat dapat menghambat perkembangan inovasi, tetapi jika terlalu longgar juga akan menghambat kemajuan. Untuk Indonesia, salah satu kerangka kerja yang perlu dipertimbangkan adalah Kerangka Regulasi Berbasis Risiko (Risk-Based Regulatory Framework). "Yang mengklasifikasikan sistem kecerdasan buatan berdasarkan tingkat risiko dan memungkinkan pengaturan yang lebih ringan bagi sektor produktif untuk mendorong inovasi," kataMarco yang juga ditemui Tempo di Kantor PBB Jakarta.

Menurutnya, sistem di Indonesia perlu sesuai dengan standar yang berlaku.International Organization for Standardization (ISO) dan Institut Teknik dan Elektronika dan Listrik(IEEE). Namun sistem ini juga perlu sejalan dengan kerangka kerja nasional diAsosiasi Negara-Negara Asia Tenggara(ASEAN), terutama mengenai integrasi dan keselarasan di antara negara-negara.

"Penyusunan peraturan harus didasarkan pada strategi nasional yang menggabungkan etika dengan penerapannya," kata Marco.

Posting Komentar