Tools:
Powered by AdinJava

TikTok Menolak Aturan Digital dalam RUU Penyiaran, 3 Perbedaan Penting

Table of Contents

TikTok Indonesia menolak rencana pemberlakuan aturan bagi platform digital dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. TikTok berargumen bahwa RUU Penyiaran tidak seharusnya memberlakukan regulasi yang sama terhadap platform berbasis konten buatan pengguna (user-generated content/UGC) seperti TikTok dengan lembaga penyiaran konvensional.

Pendapat tersebut diungkapkan oleh manajemen TikTok dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja DPR RI Komisi I bersama Platform Google & YouTube, TikTok, serta META. Pertemuan ini dilaksanakan guna mengumpulkan masukan dari platform-platform tersebut terkait dengan RUU Penyiaran.

Kepala Kebijakan Publik TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, menganggap bahwa platform yang berbasis konten yang dibuat pengguna (UGC) seperti TikTok memiliki sifat yang sangat berbeda dibandingkan dengan lembaga penyiaran konvensional maupun layanan over-the-top (OTT). Berdasarkan hal tersebut, ia menyatakan bahwa platform digital seharusnya tidak ditempatkan dalam kerangka regulasi yang sama.

  • DPR Menyetujui Peningkatan Anggaran Kementerian Keuangan Menjadi Rp 52 Triliun, Apa Prioritasnya?
  • Nadiem Mengucapkan Terima Kasih Setelah Diperiksa Selama 9 Jam oleh Kejagung dalam Kasus Chromebook
  • GOTO Mengungkap Pendapat Terkait Pemeriksaan Mantan Pejabat GOTO oleh Kejaksaan Agung dalam Kasus Korupsi Laptop

"Kami menemukan perbedaan yang signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional," ujar Hilmi dalam rapat tersebut, Selasa (15/7).

Hilmi menjelaskan bahwa sebagai platform UGC, konten di TikTok dibuat dan diunggah oleh pengguna pribadi, bukan oleh perusahaan atau platform itu sendiri. Hal ini berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional dan layanan OTT yang mengelola, memproduksi, dan mengontrol kontennya secara langsung.

Menurut Hilmi, terdapat tiga perbedaan utama antara platform UGC dan lembaga penyiaran. Dari segi produksi, konten di TikTok sepenuhnya dihasilkan oleh kreator pribadi, sedangkan di penyiaran tradisional maupun OTT, konten dibuat dan disiarkan oleh perusahaan. Dengan demikian, pengawasan terhadap isi konten pada platform UGC berbeda dengan sistem kurasi yang ketat di penyiaran konvensional.

Perbedaan yang kedua berkaitan dengan model bisnis. Hilmi menjelaskan bahwa model bisnis UGC seperti TikTok berfokus pada partisipasi aktif pengguna, sehingga siapa saja dapat membuat dan membagikan konten. Di sisi lain, lembaga penyiaran berjalan dengan model konsumsi pasif di mana hanya produsen konten profesional atau pemegang lisensi yang diperbolehkan menyajikan konten kepada masyarakat.

Perbedaan ketiga berkaitan dengan jumlah dan pengaturan konten. Berdasarkan pendapat Hilmi, jumlah konten di platform UGC sangat besar dan tidak terbatas, dengan kegiatan unggah terjadi setiap saat.

TikTok memanfaatkan sistem pengawasan berbasis teknologi dan tim manusia guna mengidentifikasi serta menghapus materi yang melanggar aturan. Sebaliknya, konten dalam siaran tradisional dijadwalkan, dikurasi, dan harus melewati proses penyuntingan serta persetujuan sebelum dipublikasikan.

Selanjutnya, Hilmi menyarankan agar platform UGC tidak termasuk dalam cakupan RUU Penyiaran. Ia menyatakan bahwa platform UGC seperti TikTok sebaiknya tetap diatur dalam kerangka moderasi konten yang saat ini berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), bukan melalui aturan penyiaran.

Ia juga menjelaskan bahwa hal ini bertujuan untuk menghindari pendekatan "One Size Fits All", yaitu satu aturan yang berlaku untuk berbagai jenis platform. Karena menurutnya, penyiaran konvensional, OTT, dan UGC memiliki model bisnis, pola produksi konten, serta sistem pengawasan yang berbeda.

"Juga untuk menghindari Ketidakpastian Hukum, yang mungkin timbul jika kerangka regulasi diterapkan secara seragam tanpa memperhatikan perbedaan mendasar antar jenis platform," ujar Hilmi.

Revisi UU Penyiaran

Di sisi lain, anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini menyampaikan bahwa RUU Penyiaran merupakan kebutuhan yang mendesak dan memerlukan proses legislasi yang cukup lama. Mengenai hal tersebut, aturan mengenai penyiaran platform saat ini dapat dimasukkan terlebih dahulu ke dalam satu peraturan yang sama, karena masih menargetkan substansi yang sama.

"Mengapa kita menganggap ini dapat dilakukan bersama Undang-Undang Penyiaran, dengan konten, karena nanti kita bisa mengatur melalui PP (Peraturan Pemerintah), Permen (Peraturan Menteri), atau mekanisme yang ketat," ujar Amelia dalam kesempatan yang sama.

Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diajukan oleh Komisi I DPR RI.

Selanjutnya, RUU Penyiaran yang sedang dibahas oleh DPR mencakup konten digital seperti yang ada di YouTube, TikTok, Instagram, Netflix, hingga Disney+ Hotstar. Salah satu poin yang diatur adalah para pembuat konten, YouTuber, maupun TikToker harus melakukan verifikasi konten ke Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.

Posting Komentar