Tools:
Powered by AdinJava

Koalisi Sepakat UU Kehutanan Harus Direvisi Total

Daftar Isi

AdinJava, Jakarta- Konsorsium Masyarakat Sipil yang mendukung UU Kehutanan, yang terdiri dari 27 organisasi masyarakat, setujuUU Kehutanandiubah secara menyeluruh. UU Kehutanan dianggap bersifat kolonial dan tidak lagi sesuai dengan tata kelola saat inihutan, lahan, dan lingkungan.

Ada tiga alasan mengapa UU Kehutanan harus direvisi secara menyeluruh, bahkan diubah sepenuhnya, yakni aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis," ujar Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Patra Prayoga.

Secara filosofis, menurutnya, UU Kehutanan atau UU 41 Tahun 1999 tidak lagi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, khususnya pada bagian huruf (a) yang menggunakan frasa merupakan kekayaan yang dikuasai negara.

Kemudian, UU tersebut juga merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960 mengenai ketentuan dasar pokok-pokok agraria yang berkaitan dengan dua hal. "Konsep hak menguasai negara dan frasa sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujarnya dalam acara media brief secara virtual pada Senin, 14 Juli 2025.

Anggi menyatakan bahwa paradigma hak tanah yang dikuasai oleh negara sangat kaku dalam menerapkan teori politik hukum kolonial Belanda, yang menganggap seluruh tanah adalah milik raja dan kemudian menjadi milik Belanda berdasarkan konsep kepemilikan menurut hukum Barat.

"Pemerintah kolonial akhirnya mampu mengusir bahkan menindak hukum siapa pun yang berada di dalam wilayah negara tanpa memperhatikan hak dan aturan yang berlaku dalam masyarakat setempat," ujarnya.

Menurutnya, peraturan diterapkan dengan pemisahan bacaan, sehingga frasa "negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" dalam huruf (a) tidak diwujudkan. "Kita dapat melihat, selama 26 tahun UU ini berlaku, sistem menghasilkan perusahaan besar yang mampu mengakses pengelolaan hutan namun gagal mencapai kemakmuran rakyat yang dimaksud," katanya.

Bahkan, menurutnya, tidak hanya mengakibatkan pengelolaan sumber daya yang tidak seimbang oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga belum terbukti mampu meningkatkan produktivitas, nilai ekonomi, dan keberlanjutan itu sendiri.

Ia menyebutkan luas wilayah hutan yang diberikan izin oleh perusahaan besar mencapai 37,6 juta hektar, sedangkan pengalihan kawasan hutan untuk perkebunan mencapai 8.514.921 hektar hingga tahun 2022. Sementara pemberian akses masyarakat terhadap hutan melalui skema perhutanan sosial (PS) hanya sebesar 5.415.122 hektar atau 9.472 unit yang telah dibagikan kepada 1.232.961 kepala keluarga.

"Perbedaannya sangat jauh berbeda dibandingkan pemberian status melalui hutan adat, hanya 332.505 hektar atau 156 unit SK saja, yang setara dengan 1,3 persen dari potensi hutan adat yang telah tercatat," katanya.

Tidak hanya terlalu kecil dan terlambat, menurutnya, hasil yang dicapai tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Partisipasi masyarakat dalam ekonomi perhutanan sosial biasanya hanya terbatas pada tahap pasca-panen dan sangat sedikit dalam proses perencanaan atau pengambilan keputusan institusional. "Faktanya, keluarga di desa-desa sekitar hutan yang terdiri dari sekitar 25.863 desa justru merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling miskin di Indonesia," ujarnya.

Anggi menambahkan, UU Nomor 41 Tahun 1999 seharusnya juga memiliki dasar sosial yang kuat, sehingga isu sosial, budaya, dan sejarah masyarakat adat serta petani yang telah lama hidup dan bergantung pada hutan dapat terlindungi. "Hutan di Indonesia bukan hanya masalah ekologis dan administratif," ujarnya.

Selama 26 tahun pelaksanaan undang-undang tersebut, menurutnya, sering kali mengabaikan beberapa hal, seperti pengabaian terhadap makna hutan bagi masyarakat adat, pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat setempat, konflik pertanahan di wilayah adat yang berlangsung lama, serta pembersihan lahan yang dilakukan secara korup. "Salah satu contohnya adalah skema administrasi keterlanjuran dan amnesti hutan yang tidak berhasil memperbaiki kerusakan hutan yang sudah rusak parah," katanya.

Kepala Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, menyatakan terdapat paling sedikit 687 konflik pertanahan yang berdampak pada kerusakan hutan seluas 11,07 hektar serta menyebabkan 925 masyarakat adat mengalami diskriminalisasi.

"Kita harus mengganti UU Kehutanan tersebut. UU ini memiliki riwayat terkait keterlibatan militer dalam pengambilalihan hak masyarakat, seperti kasus Rempang dan berbagai konflik lahan lainnya," ujar Arman.

Menurutnya, perluasan pengelolaan hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan juga menimbulkan berbagai dampak, seperti penggabungan lahan yang berujung pada pemanfaatan kawasan hutan dalam skala besar.

"Agenda iklim yang dimulai sejak COP16 Glasgow, seperti yang tercantum dalam NDC Indonesia, khususnya merencanakan pengurangan aturan izin serta mempermudah prosedur bagi proyek energi dan ketahanan pangan di daerah hutan," katanya.

Di sisi lain, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Refki Saputra menyatakan bahwa hukum terkait UU Kehutanan sering kali diterapkan dengan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Angka kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak banyak berubah sejak masa kolonial. "Kita pahami sejarahnya selalu menganggap petani sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar atau dalam kawasan hutan yang sering dihukum," katanya.

Refki menyebut bahwa masyarakat adat dan para petani menjadi korban dari regulasi yang sewenang-wenang selama ini. Bahkan, kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan mereka bisa dianggap melanggar hukum karena aturan yang cenderung tidak seimbang. "Keberadaan masyarakat yang seharusnya mendapat perlindungan terlebih dahulu justru berujung pada kebalikannya," ujarnya.

Kepala Eksekutif Women Research Institute (WRI) Sita Aripurnami menyatakan bahwa UU Kehutanan perlu diubah secara menyeluruh karena masih mengandung ketidaksetaraan gender dan pengucilan sosial dalam pengelolaan hutan. Menurutnya, tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat berdampak pada perempuan di dalam keluarga.

"Penelitian Hendrastiti dkk. (2024) menunjukkan bahwa perempuan setempat mulai menunjukkan kekuatan bersama dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif, tetapi ketidakadilan hukum masih menjadi kendala," ujarnya.

Menurutnya, Undang-Undang Kehutanan tidak memberikan jaminan sosial yang cukup bagi masyarakat adat, termasuk perempuan yang terlibat dalam konflik kepemilikan lahan, sehingga tempat tinggal mereka menjadi tidak aman. "Negara seharusnya melindungi masyarakat dan perempuan yang terdampak. Dampak terhadap laki-laki, perempuan, dan anak akan berbeda-beda," ujarnya.

Secara hukum, UU Kehutanan dinilai belum mampu menyelesaikan berbagai masalah hukum serta mengisi segala celah yang ada. "Bahkan setelah tujuh kali diubah, berbagai isu hukum masih belum terselesaikan," ujarnya.

Posting Komentar