Tools:
Powered by AdinJava

IYTC: Kemasan Bukan Penyebab Rokok Ilegal

Daftar Isi

AdinJava, Jakarta- Dewan Pemuda Indonesia untuk Perubahan Taktis (IYCTC) menyatakan banyak orang yang memahami keliru mengenai isu standarisasi kemasan - IYCTC mengungkapkan bahwa banyak masyarakat memiliki pemahaman yang salah terkait isu standardisasi kemasan - IYCTC menyoroti adanya kesalahpahaman yang umum terjadi mengenai topik standarisasi kemasan - Menurut IYCTC, banyak orang masih salah mengartikan isu tentang standarisasi kemasan - IYCTC menyampaikan bahwa terdapat banyak kesalahpahaman dalam masyarakat mengenai isu standarisasi kemasanrokokdi lapangan. Masih banyak orang yang menganggap bahwa kebijakan standarisasikemasan rokokterkait dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal. "Desain kemasan bukan penyebab rokok ilegal. Jika kita melihat data, negara-negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis telah lebih dulu menerapkan kebijakan ini, dan tidak ada bukti peningkatan rokok ilegal akibat kemasan yang sederhana," kata Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra dalam pernyataan pers yang diterima Tempo pada awal Juli 2025.

Tim IYCTC menilai bahwa standarisasi kemasan rokok merupakan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari upaya mengurangi penggunaan rokok, terutama untuk mengurangi daya tarik produk tembakau terhadap anak-anak dan remaja. Dengan menghilangkan unsur desain seperti warna, logo, dan citra merek, kemasan rokok menjadi sederhana dan sama, dengan peringatan kesehatan berbentuk gambar yang lebih jelas terlihat.

Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa setelah kebijakan tersebut diberlakukan, jumlah orang yang mengakui pernah ditawari rokok ilegal justru berkurang. Di Australia, peredaran rokok ilegal tetap terkendali dan bahkan mengalami penurunan beberapa minggu setelah kebijakan diterapkan. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan kebijakan bergantung pada cara pelaksanaannya, bukan pada bentuk kemasannya.

Manik menyebutkan bahwa generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan menjadi sasaran industri rokok. Oleh karena itu, penting bagi kalangan pemuda untuk memperoleh informasi yang jelas dan didasarkan pada bukti, bukan narasi yang dibuat demi kepentingan industri.

IYCTC merespons sebuah video YouTube berdurasi sekitar 10 menit yang baru-baru ini dirilis oleh seorang tokoh publik muda dengan lebih dari 1,63 juta pengikut di kanalnya, yang menyampaikan kekhawatirannya terhadap kebijakan standardisasi kemasan yang dikhawatirkan dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal. "Kami menghargai komitmennya untuk tidak lagi merokok di depan kamera, hal ini menunjukkan tanggung jawab yang patut diapresiasi, terlebih audiensnya banyak dari kalangan muda. Namun kami merasa penting untuk menjelaskan informasi yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat," tambah Manik.

Manik menyampaikan bahwa peningkatan peredaran rokok ilegal lebih disebabkan oleh masalah struktural yang rumit, bukan hanya terkait kemasan polos. Salah satunya adalah pasokan yang justru sengaja disediakan oleh pihak-pihak tertentu dalam industri tersebut.

"Selain kelemahan penegakan hukum dan pengawasan terhadap rokok ilegal, temuan CISDI menunjukkan bahwa rokok ilegal paling banyak ditemukan di kota-kota seperti Surabaya (20,6 persen) dan Makassar (21,4 persen), yaitu daerah yang berdekatan dengan pelabuhan besar dan pusat produksi tembakau. Sementara kota-kota lain yang berada dekat wilayah produksi, tetapi bukan jalur distribusi utama, memiliki angka yang jauh lebih rendah. Jadi ini bukan masalah harga atau kemasan, melainkan distribusi dan pengendalian pasokan," ujar Manik.

Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap produsen kecil dan menengah, tidak adanya batasan dalam kepemilikan mesin pelinting, serta sistem pelacakan distribusi yang tidak berjalan dengan baik semakin memperburuk kondisi. Survei CISDI menemukan bahwa banyak produk ilegal telah mencetak peringatan kesehatan yang mirip dengan produk resmi. Hal ini menunjukkan adanya skala produksi yang besar, dan masalah dalam rantai pasok ini harus segera diselesaikan secara tegas.

Ni Made Shellasih, Manajer Program IYCTC juga merespons narasi lama mengenai ekonomi industri rokok yang sering digunakan sebagai alasan penolakan regulasi. "Selama ini, isu terkait lapangan kerja dan perekonomian di sektor tembakau selalu diangkat. Padahal kita perlu melihat dengan lebih jelas, kontribusi ekonomi dari industri ini tidak sebanding dengan beban sosial dan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara," ujar Shella.

Data BPJS menunjukkan bahwa beban biaya pengobatan akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok terus meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu beban terbesar bagi sistem kesehatan nasional. Penelitian CISDI (2021) mengungkapkan bahwa konsumsi rokok pada 2019 memberikan beban pada sistem kesehatan sebesar Rp 17,9 hingga 27,7 triliun, angka yang hampir mendekati 92 persen dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun tersebut.

IYCTC mengajak masyarakat, media, dan pengambil kebijakan agar tidak lagi terpaku pada narasi industri yang menyalahkan kebijakan, tetapi mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya. Fokus seharusnya berada pada penguatan pengawasan, penegakan hukum terhadap produsen ilegal, serta penerapan sistem pelacakan/track and trace yang menyeluruh untuk menutup celah distribusi rokok gelap.

Shella berharap kebijakan standarisasi kemasan tetap dilanjutkan dan diterapkan secara serius. Karena dampaknya tidak hanya terkait kesehatan masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan kelangsungan sistem jaminan sosial negara. Pemerintah daerah juga perlu memaksimalkan dana bagi hasil cukai (DBH-CHT) untuk pengawasan dan edukasi agar kebijakan ini tidak hanya berhenti di kertas," ujar Shella.

Posting Komentar