Tools:
Powered by AdinJava

Hari Pertama MPLS Sekolah Rakyat Penuh Haru

Table of Contents

Tidak hanya siswa di sekolah umum, para murid di Sekolah Rakyat juga menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan (MPLS) hari pertama pada Senin (14/7). Perbedaannya, setelah selesai belajar mereka tidak pulang ke rumah tetapi kembali ke kamar asrama.

ZALZILATUL HIKMIA, Kabupaten Bogor

AIR MATAMuhammad Sapta Ramadhan, 13 tahun, tidak lagi mampu menahan diri. Air matanya pecah. Sambil menunduk dan mengusap mata, anak kelas 1 Sekolah Rakyat Menengah Pertama 10 Kabupaten Bogor ini masih berusaha keras untuk mengendalikan air matanya agar tidak semakin memburuk. Dadanya naik turun sambil terisak.

 

Ia tidak ingin terlihat sedih di hadapan ibunya, Umu Kulsum, yang berusia 40 tahun. Namun, tak bisa dipungkiri, pergi ke sekolah kali ini akan berbeda dari biasanya. Keduanya harus berpisah karena Sapta akan masuk asrama setelah menjalani pemeriksaan kesehatan.

Sapta akhirnya terpaksa berlari ke kamar mandi untuk menghapus air matanya. Ia mencuci wajahnya agar tidak tertinggal bekas air mata yang bisa membuat ibunya ikut sedih.

Anak pertama dari tiga bersaudara ini bahkan tidak mengucapkan satu kata pun. Ia takut air matanya kembali terjatuh tanpa bisa dikendalikan. Ia hanya mengangguk saat ditanya, apakah ia merasa sedih harus meninggalkan ibunya.

Umu sempat terlihat mata berkaca-kaca. Namun, ia mampu menahan air matanya agar tidak jatuh ke pipi. Dua orang yang sama-sama berusaha untuk kuat.

"Biasa tinggal bersama orang tua. Ini pertama kalinya tinggal terpisah. Tidak apa-apa, biar bisa mandiri. (Saya, red) harus kuat. Kuatkan diri meski berat," katanya saat diwawancarai di lokasi Sekolah Rakyat Menengah Pertama 10 Kabupaten Bogor, di Sentra Terpadu Inten Soeweno (STIS) Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (14/7).

Banyak orang percaya, ini adalah jalan terbaik untuk anak kesayangan mereka. Sapta dapat memperoleh pendidikan yang baik di sini. Anak kecil itu tidak perlu lagi khawatir tentang biaya agar bisa merasakan pendidikan berkualitas. Mengingat, ayahnya hanya seorang pekerja harian dengan penghasilan yang pas-pasan. “Jadi saya mengantarkan sendiri, ayahnya harus bekerja,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Keduanya sempat memeluk erat. Meskipun putranya enggan melihat ibunya karena takut kembali menangis.

Tidak jauh berbeda, Akbar Triaksono, 13 tahun, tidak mampu menahan air matanya saat harus berpisah dengan kakaknya, Yanti, 17 tahun. Akbar tidak diantar oleh kedua orang tuanya meskipun rumah mereka dekat dengan lokasi sekolah. Hanya membutuhkan sekitar setengah jam untuk sampai ke sekolah.

Ini yang menyebabkan hatinya gelisah. Sedihnya terasa ketika melihat teman-temannya diantar oleh orang tua mereka.

Namun, kali ini bukan hanya tentang jarak. Melainkan pengalaman pertama dia meninggalkan rumah selama periode yang cukup lama. Tidak tahu kapan dia bisa kembali ke rumah untuk bertemu orang tuanya. Meskipun, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf berjanji tidak akan menghalangi akses para orang tua siswa Sekolah Rakyat untuk bertemu dengan anak-anaknya kapan saja.

"Benar, sedih," katanya singkat sambil memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan air mata yang ada di kelopak matanya. Akbar kemudian hanya menunduk sambil menutupi wajahnya.

"Anaknya memang tidak pernah pergi kemana-mana. Lebih suka tinggal di rumah bersama orang tuanya," jawab Yanti.

Menurutnya, kedua orang tuanya tidak bermaksud tidak datang untuk mengantar anak tengahnya ini. Namun mereka cemas nantinya tidak akan memahami apa yang dibutuhkan atau apa yang harus dilakukan terkait persiapan Akbar masuk sekolah dan asrama. "Akhirnya saya yang diminta," katanya.

Keharuan terasa tak pernah berakhir dalam momen hari pertama MPLS ini. Sumarna, 71 tahun, harus rela melepaskan cucunya, Beby Adinda Pahlevi, 13 tahun, yang telah diasuhnya sejak kecil agar menjalani hidup jauh darinya. Matanya memerah. Air mata mulai menetes di kelopak matanya saat menceritakan perjalanan hidup cucunya.

"Bapaknya sudah lama tidak pernah bertemu. Dihubungi tidak direspon. Kemudian ibunya baru saja meninggal enam bulan yang lalu," katanya pelan.

Warga Tanah Sereal ini menjual seblak, roti bakar, dan berbagai jenis jajanan lainnya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Termasuk dalam hal membiayai pendidikan Beby. Meskipun sekolah dianggap gratis, kenyataannya masih banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan sekolah cucu tersebut.

"Terkadang nama penjualan, terkadang kita mendapatkan sedikit-sedikit, terkadang tidak ada sama sekali. Tapi ya disyukuri saja," katanya.

Pernahkah hatinya terluka saat cucunya meminta uang untuk acara perpisahan? Namun ia tidak memiliki sedikit pun uang, sehingga harus menerima permintaan tersebut.

"Alhamdulillah selalu ada rezekinya. Paman juga sudah berkata, jangan terus meminjam, nanti aku yang akan mencarikannya," kenangnya.

Maka, katanya, Beby langsung menyetujui saat ada pendataan untuk masuk ke sekolah rakyat. Menurut Sumarna, cucunya sangat ingin masuk ke sekolah rakyat agar tidak lagi merepotkan dirinya.

"Padahal, nama orang tua tidak ada yang merasakan hal itu. Seperti itu, saya berkata. Tapi dia menginginkannya," katanya.

Bahkan sambil bercanda, agar neneknya tidak sedih saat melepasnya untuk belajar di Sekolah Rakyat, Beby sering menggodanya dengan berkata, "nenek, nanti gue nggak ketemu elu lagi." Candaan itu dijawab oleh nenek dengan mengatakan bahwa ia justru bahagia karena tidak bertemu dengannya. "Ya nggak apa-apa, nenek malah senang. Nenek bilang begitu, padahal pasti ada sedihnya juga," katanya.

Beby juga menyetujui hal tersebut. Ia merasa selama ini sudah cukup memberatkan neneknya. Terlebih setelah ibunya meninggal akibat penyakit kandung empedu. "Jadi saya ingin bersekolah di sini," katanya.

Soal uang perpisahan tersebut, ia mengakui hal itu. Ia harus membayar Rp 600 ribu untuk biaya perpisahan dan uang kas yang belum dibayar. Ia merasa tidak tega meminta pada neneknya, mengingat kondisi nenek yang sudah tua. "Dulu, kalau ingin ikut ekskul renang, harus menabung uang jajan. Jadi tidak jajan agar bisa ikut," kenangnya.

Perasaan Beby mungkin lebih kuat dibanding beberapa temannya yang lain. Keinginan untuk belajar dan meringankan beban nenek menjadi dasarnya. “Mau jadi pengusaha saja, agar tidak perlu jauh-jauh dari nenek,” tambahnya.

Total terdapat 100 siswa yang akan menerima pendidikan di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 10 Kabupaten Bogor. Mereka dibagi ke dalam 4 rombongan belajar (rombel) untuk jenjang SMP. Setiap rombel terdiri dari 25 siswa. Siswa-siswa ini akan didampingi dan dibimbing oleh 12 guru, termasuk kepala sekolah, 11 wali asuh, serta 2 wali asrama.

Di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 10 Kabupaten Bogor terdapat 4 ruang kelas, 3 asrama, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha, laboratorium sains, masjid, lapangan futsal, perpustakaan, UKS, ruang bimbingan konseling, dan ruang OSIS. (*)

Posting Komentar