Tools:
Powered by AdinJava

8 Pola Bahasa yang Mengungkap Kecerdasan Rendah, Menurut Studi Linguistik

Daftar Isi

AdinJavaApakah pernah Anda mendengar seseorang berbicara dan merasa ada sesuatu yang tidak wajar? Mungkin mereka terlalu sering mengucapkan "umm", atau mengulang perkataan yang sama berulang kali dalam jangka waktu singkat. Mungkin juga mereka kesulitan memahami sindiran atau bingung saat diajak berdiskusi tentang topik yang bersifat abstrak seperti makna kehidupan atau konsep dasar ekonomi.

Di tengah dunia komunikasi modern, khususnya di era digital yang mengutamakan kecepatan, akurasi, dan kejelasan, bahasa yang kita gunakan tidak hanya sebagai alat penyampaian informasi—namun juga mencerminkan pola pikir kita.

Dikutip dari situs Geediting, artikel ini membahas secara mendalam delapan pola komunikasi yang umum ditemukan pada seseorang dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Perlu dicatat bahwa ini bukan sebuah penilaian pasti, melainkan panduan untuk memahami lebih dalam kemungkinan yang tersembunyi dalam setiap percakapan.

1. Ketergantungan Berlebihan terhadap Kata-Kata Pengisi seperti "Umm", "Kayak", dan "Tahu Gak?"

Bahasa yang digunakan manusia sering kali mengandung banyak kata pengisi. Namun, penggunaan kata-kata tersebut secara berlebihan terkadang menunjukkan kurangnya kesiapan mental dalam menyusun ide dengan cepat dan efisien.

Orang yang memiliki kemampuan intelektual yang terbatas cenderung mengandalkan kalimat seperti:

“Umm… jadi kayak…”

“Tahu nggak sih?”

“Itu lho yang ini…”

Bukan hanya kebiasaan buruk. Di dunia linguistik, hal ini dikenal sebagai strategi kompensasi verbal, yaitu cara otak mengisi waktu saat sedang kesulitan menemukan kata yang tepat.

Di bidang profesional seperti jurnalisme, penulisan ilmiah, dan penerbitan, penggunaan kata-kata pengisi menunjukkan kemampuan berpikir dan mengatur gagasan secara terstruktur. Bagi pembicara yang ahli, kata-kata pengisi digunakan dengan sengaja untuk menciptakan efek dramatis atau jeda retoris—namun tidak berlebihan.

Tips Meningkatkan:

Latih diri agar berpikir terlebih dahulu sebelum berkata.

Gunakan kalimat singkat dan langsung ke inti masalah.

Perbanyaklah membaca agar perluasan kosakata menjadi lebih beragam.

2. Mengulang perkataan atau gagasan yang sama berulang kali tanpa alasan yang jelas

Pengulangan sering kali diperlukan untuk menekankan sesuatu. Namun, jika seseorang terus-menerus mengulang gagasan yang sama dalam jangka waktu singkat, hal ini bisa mengindikasikan bahwa mereka kesulitan menyampaikan pikiran dengan efektif dari awal.

Hal ini menunjukkan bahwa seseorang meragukan apakah ia telah menyampaikan pesan secara jelas, atau mungkin memang tidak memiliki kemampuan dalam menyusun kalimat dengan struktur yang logis dan kuat.

Contoh umum:

Ya intinya saya tidak suka seperti itu, karena saya memang tidak suka, paham kan? Maksudnya tidak suka seperti itu lho.

Pengulangan yang tidak jelas dapat mengindikasikan adanya masalah dalam pemrosesan informasi verbal.

Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Berikan pertanyaan terbuka agar membantu mereka berpikir lebih jelas.

Jadi maksudmu, A?

3. Kosakata yang Sangat Terbatas dan Fokus pada Kata-Kata Umum

Kosa kata mencerminkan tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang. Seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi biasanya memiliki cara yang lebih beragam dan tepat dalam menyampaikan gagasan, perasaan, serta pendapat.

Sebaliknya, individu yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata cenderung memiliki kosakata yang terbatas, sering berulang, dan bersifat umum. Mereka juga jarang menggunakan kata sifat atau kata keterangan dengan tepat.

Contoh:

“Saya nggak suka itu.”

“Kenapa?”

“Ya nggak enak aja.”

Seseorang yang memiliki kosakata yang lebih luas mungkin akan mengatakan:

Saya merasa tidak nyaman dengan gagasan itu karena terkesan dipaksakan dan tidak memperhatikan perspektif saya.

Cara Melatih Kosakata:

Sisihkan 15 menit setiap hari untuk membaca artikel atau buku.

Gunakan aplikasi seperti Merriam-Webster Word of the Day.

Setiap hari, saya mencoba menulis satu paragraf deskripsi tentang hal-hal biasa, tetapi dengan gaya yang berbeda. Hari ini, saya akan menggunakan bahasa yang lebih santai dan penuh semangat. Besok, saya mungkin memilih gaya yang lebih formal dan terstruktur. Lusa, saya bisa menggabungkan unsur metafora dan perumpamaan agar deskripsi terasa lebih hidup. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi berbagai cara menyampaikan informasi yang sama, sehingga membantu pembaca melihat hal-hal sederhana dari sudut pandang baru.

4. Kesulitan dalam Memahami Kehadiran Sarkasme dan Humor yang Kompleks

Sarkasme merupakan bentuk komunikasi yang sangat rumit. Memahaminya membutuhkan pemahaman terhadap situasi, intonasi, ekspresi wajah, serta pengetahuan budaya. Kesulitan dalam memahami sarkasme sering dikaitkan dengan kekurangan dalam pemrosesan sosial dan kemampuan menangkap makna yang tersirat.

Contoh:

A: "Wah kau tiba tepat waktu sekali ya." (sambil melihat jam yang sudah terlambat 45 menit)

B: "Tentu saja, jadi saya selalu tepat waktu!" (tanpa menyadari bahwa itu adalah sindiran)

Orang yang tidak mampu memahami makna semacam ini sering mengalami kesulitan dalam interaksi sosial karena kesulitan membedakan antara lelucon, ejekan, atau kritik yang tersirat.

Mengasah Kemampuan Ini:

Nonton film komedi yang berfokus pada dialog, seperti "The Office" atau "Brooklyn Nine-Nine".

Membicarakan dengan teman mengenai makna yang tersirat dari suatu adegan dalam sebuah cerita.

5. Kesusahan dalam Memahami Konsep yang Bersifat Abstrak

Konsep seperti "kesetaraan", "keadilan sosial", atau "nilai moral" merupakan gagasan yang memerlukan kemampuan berpikir tinggi. Orang yang memiliki kecerdasan rendah cenderung lebih nyaman dengan hal-hal yang jelas, visual, dan langsung.

Saat diajak membicarakan sesuatu yang membutuhkan analogi atau metafora, mereka merasa bingung dan berusaha mengembalikannya ke contoh nyata yang sederhana.

Misalnya:

Anda mengatakan: "Bayangkan waktu seperti sebuah sungai."

Mereka menjawab: “Maksudnya jam?”

Meskipun demikian, yang dimaksud adalah perumpamaan bahwa waktu berjalan dan tidak dapat dipulangkan.

Tingkatkan Kemampuan Abstraksi dengan:

Membaca cerita fabel dan berusaha memahami makna moral yang terkandung di dalamnya.

Membuat jurnal harian untuk merefleksikan perasaan dan prinsip pribadi.

6. Kepercayaan Berlebihan Tanpa Dasar dari Pengetahuan yang Mereka Miliki (Efek Dunning-Kruger)

Efek Dunning-Kruger merupakan fenomena psikologis di mana seseorang yang memiliki keterampilan rendah cenderung menganggap dirinya lebih kompeten dari kenyataannya. Hal ini dikenal sebagai "ketidaktahuan yang tidak disadari".

Mereka cenderung berbicara dengan sangat percaya diri, meskipun pendapat mereka tidak kuat, tidak didasarkan pada fakta, atau bahkan salah.

Contoh:

Saya sangat yakin bahwa bumi berbentuk datar. Semua ilmuwan dibayar untuk berbohong.

Ini bukan sekadar sikap yang menentang sains, melainkan kegagalan untuk menyadari batasan dari pengetahuan yang dimiliki sendiri.

Solusinya?

Dorong pendekatan berpikir yang didasarkan pada bukti (evidence-based thinking).

Tanyakanlah: "Apa dasar pemikiranmu?"

7. Kurangnya Rasa Penasaran terhadap Lingkungan sekitar

Orang yang pintar umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka tidak puas hanya dengan jawaban singkat, dan cenderung mengajukan pertanyaan seperti "mengapa?" atau "bagaimana caranya?". Sebaliknya, orang yang kecerdasannya di bawah rata-rata sering kali bersikap pasif terhadap informasi baru.

Mereka cenderung menerima sesuatu apa adanya tanpa mencari informasi lebih lanjut.

Contoh:

Anda menjelaskan: "Jika kamu menyimpan uang di bank berbasis syariah, terdapat sistem pembagian hasil."

Mereka menjawab: "Oh benar? Sudahlah."

Tanpa melakukan upaya bertanya lebih lanjut seperti "apa perbedaannya dengan bunga?" atau "bagaimana sistemnya berfungsi?"

Kembangkan Rasa Penasaran Dengan:

Membiasakan diri untuk menulis tiga pertanyaan setiap kali selesai membaca sesuatu.

Menyaksikan film dokumenter dan mencatat hal-hal yang menarik perhatian.

8. Kekurangan dalam Berpikir Kritis dan Mengambil Keputusan dengan Menggunakan Analisis Logis

Berpikir kritis merupakan dasar dari kecerdasan nyata. Hal ini mencakup kemampuan untuk menilai data, membandingkan pendapat, dan mengambil kesimpulan yang masuk akal. Seseorang yang memiliki kemampuan ini tidak langsung menerima berita palsu, teori rahasia, atau informasi yang belum diverifikasi.

Sebaliknya, orang yang memiliki kecerdasan rendah cenderung menerima informasi secara langsung atau mengikuti arus tanpa adanya pemikiran mendalam.

Contoh:

Ada yang mengatakan bahwa memakan nanas bersama susu bisa menyebabkan kematian.

Wah benar-benar? Berarti sangat berbahaya ya, jangan pernah dicoba.

Meskipun informasi semacam ini dapat disanggah secara ilmiah dengan sedikit penelitian.

Cara Melatihnya:

Coba tinjau artikel opini dari dua sudut pandang yang berbeda.

Gunakan pendekatan 5W+1H (Apa, Mengapa, Siapa, Kapan, Di mana, Bagaimana) sebelum membuat kesimpulan.

Delapan pola ini bukanlah putusan, melainkan petunjuk. Bukan untuk menilai, tetapi untuk membantu kita menjadi pengamat komunikasi yang lebih cerdas dan manusiawi.

Kemampuan intelektual bukanlah sesuatu yang tetap. Banyak individu dengan tingkat kecerdasan biasa mampu meningkatkan diri menjadi luar biasa melalui kebiasaan baik seperti membaca, berdiskusi, berpikir kritis, serta terus belajar sepanjang hidup.

Sebaliknya, seseorang yang memiliki IQ tinggi mungkin terlihat biasa saja jika kurang berlatih, bersikap pasif, dan tidak melakukan refleksi.

Jadi, alih-alih menggunakan hal tersebut untuk menilai orang lain, gunakan delapan indikator ini untuk mengevaluasi diri sendiri. Apakah kita memanfaatkan bahasa sebagai alat pemahaman dan hubungan? Atau hanya sekadar mengisi kekosongan dalam percakapan?

Setiap percakapan merupakan sebuah tarian yang melibatkan dua pihak. Dalam tarian, kita tidak hanya belajar mengikuti alur, tetapi juga memahami gerakan pasangan kita. Mungkin mereka sedang menghadapi kesulitan. Mungkin mereka tidak mengerti makna sindiran. Mungkin mereka hanya membutuhkan waktu.

Apapun itu, marilah kita belajar mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga.

Karena dari sana, kebijaksanaan yang sesungguhnya dimulai.

Posting Komentar